PENDAHULUAN
Pada
dasarnya Al-quran adalah kitab suci yang sangat ijmal ( global ) yang mana
didalamnya mengandung beberapa unsur – unsur kandungan ayat – ayat yang masih
dibutuhkan pemahaman yang mendalam terutama dalam hal masalah hukum – hukum
yang di ambil dari Al- quran ,hal ini perlu menggunakan tafsir, karena hanya
melalui metode itulah kita bisa mengetahui maksud – maksud hukum yang
terkandung didalamnya.
Melalui
pendekatan muqaranah , tafsir ayat – ayat ahkam ini akan membahas beberapa ayat
yang mengandung hukum. Dalam hal ini makalah yang kami sajikan ini akan
membahas tafsiran – tafsiran ayat ahkam yang terkandung dalam surat Al-Mujadalah ayat 2
- 4 yang menjelaskan
masalah tentang Dhihar. Karena Dhihar menjadi salah satu hukum dalam keluarga
islam yang melarang menyamakan punggung isteri sama seperti punggung ibunya, maka dari itulah perlunya membahas dhihar melalui surat Al
– Mujadalah ayat 2
- 4 melalui metode
tafsirnya.
Surat
Al-Mujadilah atau Al-Mujadalah menurut mayoritas ulama adalah Madaniyah.
Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengemukakan riwayat yang menyatakan bahwa hanya sepuluh
ayatnya pada awal surat yang Madaniyyah, sedang sisanya turun sebelum Nabi berhijrah ke Madinah. Riwayat lain hanya
mengecualikan ayat tujuh.
Namanya
terambil dari ayat pertama surat ini yang menguraikan debat yang dilakukan oleh
seorang wanita terhadap Nabi saw. jika penamaan berdasarkan pelaku maka ia
dinamai Mujadilah, dan jika dilihat perdebatan itu sendiri serta dialog
yang terjadi antara wanita itu dengan Nabi saw. maka namanya adalah al-mujadalah.
Nama lain dari surat ini adalah Qad sami’a Allah karena itulah kalimat
pertama pada ayatnya yang pertama. Ada juga yang mmenamainya surat Azh-Zhihar
karena surat ini membatalkan adat kebiasaan masyarakat jahiliyah-yang juga
di praktekkan oleh kaum muslimin pada masa itu.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Al – Qur’an Surat Al –
Mujadalah Ayat : 2 - 4
Artinya :
(2) “Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu,
(menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu
mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan
Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan
dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”.
(3) “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian
mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah
yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
(4) “Barangsiapa yang
tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah
atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir
ada siksaan yang sangat pedih”.[2]
B.
MAKNA GLOBAL
Bahwasannya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Dekat, Ia akan selalu mengabulkan segala do’a.
Disini ada wanita datang ke tempat Rasulullah saw. mengadukan akan kezhaliman
suaminya, yaitu dia tidak menyentuhnya dengan menggunakan suatu ucapan yang
biasa dipergunakan kaum jahiliyah. Perempuan itu menannyakan, apakah ucapan
seperti ini masih tetap diakui oleh
islam?
Ia
mengadukannya kepada Rasulullah saw. sambil mengharapkan petunjuk kepada Allah
SWT. yang selalu mengetahui seluruh rahasia langit dan bumi. Ia mengadu kepada Allah akan keberatan hatinya,
sedangkan ia sendiri tidak berdaya apa-apa, tidak ada pembela dan penolong. Umur suaminya itu sudah lanjut
dan anak-anaknya masih kecil-kecil. Sehingga apabila anak-anaknya itu turut
ayahnya, mereka akan terabaikan, tetapi kalau turut ibu, merka akan kelaparan.[3]
Rasulullah
saw, sendiritidak berani memberikan keputusan hukum, karena memang beliiau
tidak berwenang. Beliau hanya memperturutkan wahyu yang datang dari Allah.
Sedangkan dalam masalah dhihar ini belum ada wahyu apa pun. Justru itu beliau
tidak berani menetapkan hukum, tetapi beliau hanya menyatakan :
ماَ
ارَا كَ اِلاّ قَدْ حَرُمْتِ عَلَيْهِ
Artinya
: “Aku tidak tahu tentang engkau, melainkan engkau haram atasnya”.
Atas
jawabab itulah, maka perempuan tersebut lalu membantah Nabi saw. Dan ternyata
Allah SWT. mengabulkan permohonan perempuan yang lemah yang sedang sendirian
itu, yaitu dengan menurunkan wahyu (kepada Nabi Muhammad saw) untuk disampaikan
kepada suami yang mendhihar isteri-isterinya itu : Bahwa isterimu yang engkau
dhihar itu bukanlah ibumu. Itulah hukum Allah tentang kasus dhihar. Oleh karena
itu percayalah, bahwa hukum ini adalah berasal dari Allah. Ikutilah Dia dan
turutlah semua batas-batas ketentuanNya, jangan kamu langgar.
C.
SABABUN NUZUL
1.
'Aisyah
r.a mengatakan: “Allah Tabaraka wa Ta’ala” memang Maha mendengar suara. Pada
suatu ketika datanglah seorang wanita mengadu kepada Rasulullah saw, yang ketika
itu aku berada dipinggir rumah sambil mendengarkan percakapan perempuan
tersebut. Namun tidak seluruhnya saya dengarkan, ada sebagian yang sayup-sayup
bagiku. Perempuan itu mengadukan polah suaminya (yang mendhiharnya). Dia
katakan: Ya Rasulullah! Suamiku telah menguji anak-anakku, padahal perutku
telah melahirkan (bayi) untuknya, sehingga setelah usia lanjut dan anakku telah
berpisah (disapih) tahu-tahu dia mendhihar aku. Ya Allah, aku mengadukan hal
ini kepada-Mu.
2.
Ibnu
‘Abbas r.a.m mengatakan: “Sudah menjadi kebiasaan jahiliyah, apabila seorang
suami mengatakan ‘anti ‘alaiya kazhahri ummi’, maka si isteri tersebut
menjadi haram atas suami. (Omongan itu dikenal dengan istilah dhihar). Sedang
pertama kali terjadi dhihar dalam islam yaitu peristiwa Aus (yang mendhihar
isterinya) lalu dia menyesal. Untuk itu dia menyuruh isterinya menghadap
Rasulullah saw. untuk menannyakan perihal kasusnya itu. Maka ia pun kemudian
datang. Lalu turunlah ayat-ayat diatas.
3.
Khaulah
binti Malik bin Tsa’labah mengatakan: “Suamiku, Aus bin Tsamit mendhihar aku,
lalu aku menghadap Rasulullah saw. untuk mengadakan halku itu, tetapi beliau
malah mendebatku seraya mengatakan: ‘Takutlah engkau kepada Allah, bahwa suamimu itu adalah anak pamanmu’.
Aku tidak pernah putus asa, hingga turun ayat “Sungguh Allah mendengarkan
perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya.... sampai perintah
memerdekakan hamba sahaya”. Katanya: ‘Memerdekakan hamba sahaya’. Kujawab: Dia
(suamiku) tiddak mampu. Lalu Rasulullah saw. bersabda: ‘Kalau begitu puasa dua
bulan berturut-turut’. Kujawab: Ya Rasulullah, dia sudah tua bangka, tidak mungkin kuat puasa.
Maka sabdanya: ‘Kalau begitu hendaklah dia memberi makan enam puluh orang
miskin’. Kujawab: Dia tidak punya apa-apa, yang bisa dipergunakan untuk
sedekah. Sabda Rasulullah: ‘Akan ku bantu dengan sekarung kurma’. Dan kujawab: Ya Rasulullah
aku sendiri juga akan membantunya dengan sekarung kurma. Sabdabnya kemudian:
‘Bagus, pulanglah dan berikanlah duakarung kurma itu kepada enam puluhh orang miskin,
dan kembalilah engkau kepada anak pamanmu itu’.[4]
D.
TAFSIR
·
قَدْ (qad = sungguh) ini oleh ahli-ahli bahasa arab dikatakan sebagai
suatu kata yang menentukan suatu kepastian, apabila masuk pada fi’il
madhi’(kata kerja yang menunjukkan masa telah lalu), dan dengan arti
kadang-kadang kalau masuk pada fi’il mudhari’(kata kerja yang menunjukkan masa
yang akan datang). Tetapi ‘qad’ dalam firman Allah Ta’ala selalu berarti pasti,
baik masuk pada fi’il madhi’ maupun pada fi’il mudhari, misalnya firman Allah :
قَدْ يَعْلَمُ اللهُ الْمُعَوِّقِيْنَ مِنْكُمْ. الأخرا ب : 18
Artinya : “Sungguh Allah mengetahui orang-orang diantara kamu
yang menghalang-halangi (orang masuk islam)”. (QS. Al-Ahzab 18)
Al-jauhari dalam kamus As-Shihah
mengatakan : Bahwa ‘Qad’ itu hanya masuk pada
fi’il. Zamakhsyari berkata: Ma’na ‘qad’ itu ialah menanti hasil, karena
Nabi saw dan perempuan yang mengadu tersebut sama-sama menanti turunnya ayat
yang memecahkan masalah pengaduannya itu. Sedangkan yang dimaksud dengan
‘mendengar Allah terhadap perkataan perempuan’ tersebut, adlah mengabulkan
do’anya, bukan semata-mata mendengarkan (karena memang Alloh Maha mendengar).
Ini,sama dengan ucapan orang yang sedang sholat “sami” allahu liman hamidah”
(Allah mendengarkan orang yang memuji-Nya).
·
ظِهَارَ – Zihar : Secara etimologis,
berasal dari kata zahara tetapi banyak makna yang dimaksud dari padanya karena
banyaknya tujuan. Misalnya zahara fulanun fulanan (si fulan membantu si fulan).
Zahara baina Saubaih (dia mengenakan dua pakaiannya, yang satu di atas yang
lainnya). Zahara min Imra’atih (mengatakan kepada isterinya, “Engkau seperti
pungguung ibuku”. Maksudnya isterinya itu haram baginya) Yang demikian ini
merupakan talaq (perceraian) paling hebat di masa jahiliyyah.[5]
Kata (يظاهرون) yuzhahirun terambil dari kata ((ظهر zhahr yakni punggung.
Isteri yang digauli diibaratkan dengan kendaraan yang ditunggangi. Orang-orang
Yahudi melarang menggauli isteri dari belakang. Mereka menganggapnya dapat
mengakibatkan lahirnya anak yang cacat. Nah, orang-orang Arab Madinah, para
pengucap zhihar yang bergaul dengan orang-orang Yahudi itu, bermaksud
menekankan kehharaman menggauli istrinya dengan menggunakan dua macam
penekanan. Yang pertama Menjadikannya seperti ibunya, dan kedua menggaulinya
dari punggung/belakang. Demikian Ibn ‘Asyur.[6]
Hakikat zhihar adalah menyerupai punggung yang satu dengan
punggung yang lain, dan yang menjadi
tolak ukur dari hukum zhihar disini adalah penyerupaan punggung yang
halal (punggung istri) dengan punggung yang haram (punggung ibu). Oleh karena
itu, para fuqaha’(ahli fiqih) sepakat
bahwa barang siapa yang berkata kepada istrinya, “Kamu bagiku sudah
seperti punggung ibuku,” maka ia disebut sebagai mudzahir (orang yangg
melakukan Zhihar).[7]
Sebagian besar dari para fuqaha’tersebut berpendapat, bahwa
siapa saja yang berkata kepada istrinya,’Kamu bagiku sudah seperti punggung
anak perempuanku, atau saudara perempuanku, dan selainnya dari keluarganya yang
merupakan mahram baginya, maka ia adalah seorang muzhahir. Ini
merupakan pendapat Imam Malik, Abu Hanifah, dan
selain mereka berdua.
Tetapi Asy-Syafi’i RA memiliki pandangan lain, ia beranggapan yang
sah dikenakan hukum zhihar adalah apabila seorang suami menyerupakan
punggung istrinya gdengan punggungg ibunya yang merupakan mahram
mu’abbadnya.
Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i, ia menggatakan bahwa
sesungguhnya zhihar tidak dapat dihukum kecuali hanya kepada ibu saja,
ini merupakan madzhab Qatadah dan Asy-Sya’bi, sedangkan yang pertama adalah
perkataan Al Hasan, An-Nakha’i, Az-Zuhri, Al Auza’i dan Ats-Tsauri.
·
Kata
((يتماساّ yatamassa terambil
dari kata ((مسّ mass yang secara
harfiah berarti menyentuh. Kata ini biasa digunakan dalam arti persentuhan
dua alat kelamin pria dan wanita.
Atas dasar itu ada yyang memahaminya demikian. Tetapi ada juga yang memahaminya
dalam arti cumbu antara pusar dan lutut. Bahkan ada yang lebih ketat lagi, dengan menyatakan walau
dalam bentuk cumbu yang
sekecil-kecilnya.
Dalam ayat ke tiga ini makna kehendak kembali tersebut di
perselisihkan maknanya oleh para ulama. Riwayat menyangkut pendapat Imam Malik
berbeda-beda. Riwayat pertama adalah keinginan suami untuk mempertahankannya
sebagai istri sekaligus untukmenggaulinya. Riwayat kedua memahami makna kehendak
kembali dalam arti tekad untuk menggaulinya. Inilah pendapat Imam
Malik yang populer dan ini juga pendapat Imam Ahmad Ibn Hambal serta Abu
Hanifah. Riwayat ketiga yang juga dinisbahkan kepada Imam Malik adalah bukan
saja ia baru dinilai menginginkan kembali kalau dia benar-benar telah
menggaulinya. Imam Syafi’i berpendapat bahwa kehendak kembali itu
bermakna adalah kehendaknya untuk tetap menganggapnya sebagai istri dan
berlalunya waktu setelah ucapannya.[8]
·
Dalam
Firman Allah SWT وَالّذِيْنَ
يُظَهِرُوْنَ مِنْ نِّسَا ئِهِمْ “Orang-orang
yang menzhihar istri mereka,”
kalimat ini merupakan mubtada’, sedangkan Khabarnya adalah فَتَحْرِيْرُرَقَبَةٍ “Maka
(wajib atasnya) memerdekakan seorang budak,”
kata alaihim (wajib atasnya) dihilangkan agar isyarat kata menuju kepada
kalimat di atas, yaitu maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak.
Ada yang mengatakan, yakni Kaffaratnya berupa memerdekakan
seorang budak, sudah merupakan ijma’ para ulama zhihar adalah perkataan
seseorang kepada istrinya, ‘Kamu bagiku sudah seperti Punggung ibuku,’ ini
adalah ucapan yang mungkar dan dusta,
yang telah disinyalir oleh Allah SWT dalam firman –Nya,وَاِنَّهُمْ لِيَقُوْلُوْنَ مُنْكَرًامِّنَ الْقَوْلِ وَزُوْرًا “Dan
sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar
dan dusta.”
E.
KANDUNGAN HUKUM
a.
Dhihar itu sama dengan talak atau sekedar haram?
Dhihar, di zaman jahiliyah berarti talak. Bahkan dipandangan talak
yang paling hebat, kerena di dalamnya terkandung suatu penyamaan isteri dengan
ibu yang jelas haram bagi seorang anak untuk selama-lamanya, dengan perkawinan
cara apa pun. Kemudian Islam datang untuk menghapus hukum tersebut, dan
menjadikan dhihar ini sebagai penyebab haramnya seorang isteri bagi suaminya
membayar kaffarat terlebih dahulu. Tetapi tidak menetap sebagai talak
sebagaimana yang berlaku di zaman
jahiliyah.[9]
Jadi, kalau seorang laki-laki mendhihar isterinya tetapi dengan
maksud talak, maka tetap menjadi dhihar; dan sebaliknya jika dia mentalak
isterinya tetapi dengan maksud dhihar, tetap menjadi talak. Penilaian di sini
adalah “ungkapan” yang dipergunakannya, bukan semata-mata niat, sehingga satu
sama lain tidak bisa saling mengganti.
Ibnul Qayim berkata: “Ini, adalah karena dhihar yang oleh kebiasaan
jahiliyah dipandangnya sebagai talak itu telah dihapus. Maka tidak layak kalau
hukum yang telah dihapus itu di ulang kembali. Lalu pula, Aus bin Shamit sendiri
– yang merupakan pelaku bagi sebab turunya ayat ini memang berniat talak
seperti yang biasa berlaku di zaman jahiliyah itu dengan mempergunakan istilah
dhihar, yang selanjutnya dia dikenakan hukuman dhihar bukan talak. Dan memang
hukum dhihar ini sudah cukup jelas, sehingga tidak perlu lagi mempergunnakan
kata kinayah (sindiran) terhadap hukum yanng telah dibatalkan oleh Allah itu.
Sedang hukum Allah adalah lebih cocok dan lebih
wajib dilaksanankan.”
Para ulama pun telah sepakat atas haramnya dhihar ini, dan tidak
boleh dipergunakan, sebab dhihar itu
suatu kedustaan, dosa dan mengada-ada. Ia jauh berbeda dengan talak. Talak
memang dibenarkan, dan dhihar ini
dilarang. Jadi kalau ada seseorang mengatakan dhihar kepada isterinya berrati
dia melakukan perbuatan haram dan harus membayar kaffarat.[10]
b.
Beberapa Konsekuensi Hukum Dhihar
Apabila
seseorang suami mendhihar isterinya, maka ada dua akibat hukum:
a)
Haram
mencampuri isterinya, sampai dia membayar kaffarat. Berdasarkan firman Allah:
“Maka dia harus memerdekakan seorang hamba sahaya, sebelum mereka berdua itu
bersentuhan.”
b)
Wajib
membayar kaffarat untuk kembali kepada isterinya itu. Karena Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang mendhihar isteri-isteri mereka kemudian mereka hendak
kembali (mencabut) apa yang ereka
katakan itu, maka merdekakanlah seorang hamba sahaya.. dan seterusnya.
c.
Apakah dhiharnya ghairu muslim seperti kafir dzimmi dan kafir
kitabi itu dipandang sah?
Dalam hal ini, ulama-ulama hanafiyah, malikiyah, dan hanabilah
berpendapat, bahwa dhiharnya kafir dzimmi dan kafir kitabi itu dinilai tidak sah. Kerena dalam firman Allah
tentang dhihar itu dipergunakan kata-kata “Minkum” (diantara kamu). Sedangkan
“minkum” itu untuk orang islam. Jadi selain muslim tidak terkenna hukum
tersebut.
Sementara ulama Syafi’iyah mengatakan: Sebagaimana talaknya kafir
dzimmi itu dipandang sah, dengan segala konsekuensinya, maka begitu juga halnya
dhihar.
Tarjih
Aku (ash-Shabuni) berpendapat : Yang betul adalah pendapat jumhur. Alasan mereka dengan adanya
“pembebasan hamba dan puasa” dalam kaffarat itu cukup kuat. Adapun alasan
dengan memaham kata “minkum” itu tidak begitu kuat. Karena ayat tersebut
diungkapkan guna mengecam dan mencela. Karena dhihhar itu hanya dikenal hanya
dikenal di kalangan bangsa arab. Sehingga di dalam ayat tersebut tidak ada
tanda-tanda yang menunjukkan hukum dhihar
ini berlaku buat mereka (yang bukan beragama islam) . Walluhu a’lam..
d.
Dhiharnya isteri, apakah bisa dinilai sah??
Para ula fiqih sepakat, bahwa isteri tidak berwenang menyatakan
dhihar kepada suaminya. Jadi, misalnya ada seorang isteri mengatakan kepada
suaminya: “anta a’laiya kazhahri ummi”, maka ucapan tersebut tidak dipandang
sebagai dhihar dan tidak berakibat hukum sama sekali.
Tetapi sementara diriwayatkan dari Imam ahmad dalam salah satu
kaulnya, bahwa isteri yang mengucapkan kalimat dhihar kepada suami itu
dikarenakan kaffarat bila dia disetubuhi oleh suaminya . Inilah yang dipilih
oleh Al-Harqi.[11]
e.
Kaffarat Dhihar
1)
Memerdekakan
hamba sahaya
Menurut dhahir ayat di atas, bahwa hamba sahaya di sini adalah
mutlak, ya’ni semua jenis hamba, sekalipun kafir(?).
Menurut ulama hanafiyah, bahwa kaffarat itu dapat dilakukan dengan
memerdekakan hamba sahaya baik kafir maupun yang beriiman, pria maupun wanita,
besar/tua maupun kecil/muda, bahkan yang masih menyusu pun boleh. Karena
sebutan ‘hamba’ meliputi semuanya itu.
Menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah, bahwa dipersyaratkanhamba
yang beriman. Jadi selain hamba yang beriman tidak sah untuk kaffarat.
Alasannya, karena dalam ayat qatl (ayat yang membicarakan soal pembunuhan yang
di situ disebutkan adanya pembayaran diyat/kaffarat) disebutkan ‘haruslah
memerdekakan seorang hamba yang beriman.
2)
Puasa
dua bulan berturut-turut
Puasa dua bulan berturut-turut ini diwajibkan bagi orang yang tidak
mampu memerdekakan hamba sahaya. Hitungannya berdasarkan hilal (bulan),
tanpa dibedakan apakah bulan itu genap atau ganjil (29 hari atau 30 hari –pen).
Tetapi kalau dia berpuasa tanpa menggunakan hitungan hilal, maka dia harus
berpuasa selama 60 hari. Demikian menurut pendapat ulama Hanafiyah. Tetapi
mmenurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah, dia harus berpuasa sampai datangnya
hilal baru, kemudian berpuasa sebulan penuh berdasarkan perhitungan hilal,
sedang yang pertama tadi disempurnakan dengan hitungan (misalnya yang pertama tadi berpauasa di
perengan bulan, maka harus digenapkan sampai 30 hari –pen).[12]
3)
Memberi
makan 60 orang miskin
Abu Hayyan berpendapat,bahwa zhahirnya bentk makanan itu adalah
mutlak, tetapi kemudian bisa ditakhshiskan dengan makanan yang menjadi
kebiasaan ketika turunnya ayat tersebut, yaitu makanan yang mengenyagkan, tanpa
dibatasi dengan mud (takaran).
Imam Malik dan Syafi’i berpendapat, makanan yang kuranng dari 60
orang tidaklah cukup.
Sedang Abu Hanifah cs, mengatakan : seandainya orang tersebut
memberi makan setiap hari kepada seoorang
miskin sebanyak ½ sha’ sampai mencapai jumlah 60 hari, maka yang demikian itu dipandang cukup.
[1]M.Quraish shihab,Tafsir
Al-Mishbah,(Jakarta : Lentera Hati,2002),hal. 57
[3] Mu’ammal
Hamidy dan Drs. Imron A. Manam, TERJEMAHAN TAFSIR AYAT AHKAM ASH-SHABUNI 3,
(Surabaya : PT Bina Ilmu,1998), hal.156
[5]Ahmad Mustafa Al-Maragi, op.cit.,
hlm. 3.
[6] M. QURAISH SHIHAB, op.cit,.
hlm. 63.
[7] Dudi Rosyadi, Faturrahman, Fachrurazi dan Ahmad Khatib, Al
Qurthubi,Syaikh Imam, (Jakarta : PUSTAKA AZZAM, 2009), hlm. 114-115.
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong
ReplyDelete