PENDAHULUAN
Kewajiban beribadah
bagi umat Islam sebagai manifestasi iman dari mukminin dan mukminat,seharusnya
dilakukan dengan tata cara tempat dan waktu berdasarkan perundangan Islam yang
bersumber pada Al-Quran dan Sunnah Rasul (Hadis)[1].
Tata cara
peribadatan kaum muslimin Indonesia, dilakukan berdasarkan perundangan (Hukum
Fiqh) yang memang menjadi panutan pokok bagi setiap umat Muslim di Indonesia
dan juga kitab-kitabnya banyak beredar di tanah air kita. Namun, dalam
prakteknya di masyarakat banyak kita
temukan perbedaan-perbedaan satu sama lain dan karenanya adakalanya terjadi
perselisihan pengertian dan pendapat di kalangan umat Islam sendiri dan
adakalanya pula merupakan sumber perpecahan di kalangan umat yang dapat
melemahkan hubungan ukhuwah Islamiyah dan persatuan umat. Untuk lebih jelasnya
mengenai contoh perbedaan pendapat yang terjadi di tengah-tengah masyarakat,
dapat disimak dalam uraian krononogi di bawah ini.
Kejadian Perkara:
Dalam permasalahan Qunut terdapat banyak perbedaan pendapat yang
satu dengan yang lainnya, ini menjadi hal yang cukup menarik untuk di selidiki.
Permasalahan ini saya temukan di Desa Temuireng, Kec. Petarukan Kab Pemalang,
saya mencoba bertanya kepada salah satu tokoh masyarakat di Desa itu yang
bernama Bapak Jumakir, dengan pertanyaan seperti ini: bolehkah ketika Imam
sholat subuh membaca qunut, lalu ma’mum yang dibelakangnya tidak mengikuti Imam
dengan tidak membaca qunut atau tidak mengangkatkan tangan untuk mengamininnya?
Kemudian Bapak Jumakir tersebut menjawabnya dengan alasan: berdasarkan
pada Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Daruquthni dan Hakim yang
menganggapnya shahih, dari Anas, berkata:
مَا زَالَ رسول الله صلى الله عليه
وسلم" يَقْنُتُ في صلاة الفجر حتى فارق الدُّنْيَا"
Artinya:
Rasulullah saw.itu selalu berqunut pada
shalat subuh sampai beliau wafat .Hadits sahih riwayat dari Anas[2].
Kemudian saya dengan
polosnya menanggapi jawaban tersebut, dengan berkata: tetapi kalau seorang yang
backgroundnya aliran muhammadiyah, kemudian tidak mau mengikuti Imam ketika
sholat subuh membaca qunut dan waktu itu kebetulan berjamaah di Masjid yang mayoritas aliran NU.
Apakah sholat subuhnya itu tidak sah atau harus di ulangi?
Lalu Bapak tersebut
menjawabnya dengan cepat, dengan mengatakan: iya, karena sholatnya tersebut
tidak mengikuti Imam, dan Imam itu harus diikuti[3].
Ketika itu saya mulai ingat dengan tugas perbandingan madzhab, yang di suruh
buat laporan lapangan mengenai masalah khilafiyah fiqh perbandingan. Tanpa pikir
panjang lagi dan saya juga sudah pusing, masalah ini saya jadikan tugas.
Solusi :
Dari permasalahan di atas dapat kita ambil beberapa pelajaran,
harusnya sebagai tokoh masyarakat, seharus mampu menjadi media untuk
menjembatani seputar masalah-masalah tersebut, bukan justru mengedepankan argumen
yang menurutnya paling benar, sehingga
menimbulkan perselisihan. Mereka seharusnya mampu bersikap lebih dewasa lagi
dalam menanggapi argumen dari orang lain atau masyarakat lain, mungkin orang
lain tersebut mempunyai dasar sendiri dalam masalah ‘mengikuti/tidak mengikuti
Imam ketika berqunut dalam sholat subuh’.
Sebagai tokoh ulama di masyarakat, walaupun masing-masing punya
background organisasi yang berbeda, dalam menanggapi perselisihan tersebut seharusnya
mereka mampu menjelaskan secara objektif dan bersikap lebih dewasa bagaimana
yang seharusnya disikapi, bukan malah saling kuat-kuatan argumen yang imbasnya
membuat bingung orang lain (termasuk saya), kalaupun pendapat dari orang lain
yang lebih bisa di terima secara akal dan pikiran manusia sebaiknya menerima
dengan lapang dada, tidak perlu kaku. Dan kalaupun dia hanya ikut-ikutan dan
tidak mengetahui dasar setiap perbuatannya (dalam hal ini qunut).
Mereka seharusnya bisa saling menerima pendapat satu sama yang
lainnya masing-masing, dan mau untuk belajar, memuntut ilmu, bertanya kepada
yang lebih paham atau mencari. Namun demikian bertanya juga harus dari berbagai
sumber, tidak hanya pada satu rujukan, karena harus kita sadari bahwa ini
adalah masalah khilafiyah, tentu tidak akan ada bedanya jika kita hanya
bertanya pada satu sumber dan satu golongan saja.
Perspektif Perbandingan Fiqh :
Sebelum menerangkan shah tidaknya shalat subuh yang tiada dengan
do’a qunut saya akan mencoba menerangkan lebih dahulu, perihal persoalan do’a
qunut.
Ketahuilah bahwa difashal yang tersebut ulama-ulama fiqh telh
mufakat, bahwa do’a qunut itu tidak boleh dikerjakan di sholat : Dhuhur, Ashar,
Maghrib, Isya, melainkan ada kecelakaan atau ada musibah[4].
Adapun qunut di sholat Subuh, maka mereka itu ada berlawanan pendapat.
Firqah yang pertama berpendapat, bahwa do’a qunut itu boleh
dikerjakan di waktu sholat Subuh, walaupun bukan di waktu kecelakaan, firqah
yang kedua pendapatnya berlawanan dari yang tersebut itu.
·
Pendapat
yang pertama (Firqah yang pertama):
Adapun menurut madzhab Syafi’i maka berqunut dalam sholat Subuh
sesudah rukuk dari raka’at kedua itu adalah sunnah. Ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh jama’ah selain Turmudzi dari Ibnu Sirin, bahwa[5]:
اَنَّ أَنَسَ
بْنَ مَالِكٍ سُئِلَ :هَلْ قَنَتَ النَّبِيُّ صلّى الله عليه وسلم فِى صَلَاةِ
الصُّبْحِ ؟ فَقَالَ :نَعَمْ. فَقِيْلَ لَهُ: قَبْلَ
الرّكُوْعِ أَوْ بَعْدَهُ؟ قَال: بَعْدَ الرَّكُوْعِ .
“Anas bin Malik pernah ditanya demikian: ‘apakah Nabi saw. berqunut
dalam sholat Subuh’? Ia menjawab: ‘Ya’. Ditanya pula: ‘Sebelum ruku’ atau
sesudahnya’? Ia menjawab: ‘sesudah ruku’.”
Dalam menggunakan hadis ini sebagai dalil, haruslah ditinjau
terlebih dahulu, sebab kemungkinan sekali bahwa yang ditanyakan tadi itu adalah
qunut nazilah (karena ada bahaya) dan dalam hal ini sudah jelas sunatnya dalam
riwayat Bukhari dan Muslim.
Ada lagi hadis yang diriwayatkan oleh Imam Hakim:
قال
ابوهريرة :كان رسول الله صلى الله عليه وسلم. اِذَارَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ
الرُّكُوْعِ فِيْ صَلاَةِ الصُّبْحِ فِيْ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ رَفَعَ
يَدَيْهِ فَيَدْعُوْبِهَذَاالدُّعَاءِ. الّلهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمنْ هَدَيْتَ
وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عافَيْتَ. {ح . ر . الحا كم}
Artinya : Telah berkata Abu Hurairah : Adalah Rasulullah saw.
apabila mengangkat kepalanya dari ruku’ shalat subuh pada raka’at yang
kedua, beliau mengangkat kedua tangannya,
lalu mendo’akan dengan do’a ini : Allahummahdini...... (H.R. Hakim) Imam
Hakim berkata : Hadis ini Shahih[6].
Tentang hadis yang pertama yang dijelaskan oleh Bapak Jumakir
selaku tokoh masyarakat tersebut di atas, yang menyatakan bahwa Nabi saw.
berqunut selama hayatnya, maka di dalam sanad hadis itu ada seorang yang
bernama ja’far ar Razi. Ia bukan seorang yang kuat dan hadisnya tidak dapat
digunakan sebagai hujjah, sebab tidak masuk dalam akal kita bahwa selama
hidupnya Rasulullah saw. berqunut dalam shalat subuh, tetapi ditinggalkan
begitu saja oleh para khalifah sesudahnya.bahwa ada keterangan bahwa Anas sendiri
juga tidak berqunut dalam shalat subuh.
Jadi andai kata hadis di atas itu dianggap sah, maka yang
dimaksudkan bahwa Nabi saw. selalu berqunut itu ialah memperpanjang berdiri sehabis
rukuk untuk berdoa ataumengucapkan puji-pujian sampai beliau saw. meninggal
dunia, sebab perbuatan semacam ini pun termasuk pula dalam arti qunut[7].
·
Pendapat
yang kedua (Firqah yang kedua):
Telah terkenal
dengan terang sekali di antara ulama-ulama Hadis, bahwa menurut keterangan
Hadis-hadis yang shahih, sesungguhnya Qunut itu tak pernah di jalankan oleh
Nabi saw. melainkan di waktu ada nazilah (kecelakaan) dan Nabi saw. tak
menggunakan do’a qunut di dalam shalat lima waktu.
Diriwayatkan
oleh Ahmad, Nasa’i dan Turmudzi yang menganggapnya sebagai hadits shahih dari
Abu Malik al-Asyja’i berkata:
- كَانَ أَبِى قَدْ صَلَّى خَلْفَ رسولِ اللهِ
صلى الله عليه وسلم وهوابْن سِتِّ عَشَرَةَ سَنَةً, وَأَبِى بكرٍ وَعُمَرَ
وَعثْمانَ. فَقُلْتُ أَكَانُوْايَقْنتُوْنَ؟ قَالَ : أَىْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ .
Artinya: Ayahku bershalat di belakang Rasulullah saw. ketika
masih berusia 16 tahun, juga di belakang Abu Bakar, Umar dan Utsman. Saya
bertanya: apakah beliau-beliau itu berqunut? Ayah menjawab: “Tidak,wahai
anakku, itu hanya suatu yang diada-adakan.[8]”
Dari keterangan hadis tersebut adalah bahwa Ibnu Abi Syaibah
meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair dan
Khalifah-khalifah yang tiga (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) bahwa beliau-beliau
semua tidak ada yang berqunut dalam shalat subuh. Demikian Madzhab golongan
Hanafi, Hanbali, Ibnu Mubarak, Tsauri dan Ishak.
Ada juga hadis yang
diiriwayatkan oleh H.R. Ibnu
Khuzaimah :
قَالَ اَنَسٌ :
اِنَّ النَّبِيَّ ص. لَمْ يَكُنْ يَقْنُتُ اِلاَّ اِذاَد عا لِقَوْمٍ اَوْ دَعَا
عَلى قَوْمٍ. (ح.ر. ابن خز يمة)
Artinya : Telah berkata Anas: Bahwa Nabi saw.itu tidak pernah
berqunut, melainkan hanya apabila mendo’akan (kebaikan) bagi suatu kaum, atau
mendo’akan (kecelakaan) atas suatu kaum. (HR Ibnu Khuzaimah).
Hadis di atas tersebut diperkuat juga dengan hadis yang
diriwayatkan oleh H.R. Sa’ied bin Manshur, yang artinya: “Telah berkata Abu
Hurairah: Bahwa Nabi saw. tak pernah berqunut pada sholat subuh melainkan
apabila ia mendo’akan (kebaikan) atas suatu kaum, atau mendo’akan (kecelakaan)
atas suatu kaum.”
Dari hadits yang no 3 diatas, yang diriwayatkan oleh oleh Imam
Hakim yang mana maksudnya itu, bahwa Nabi saw. ditiap-tiap mengangkat kepalanya
dari ruku’ shalat subuh pada raka’at yang kedua sambil mengangkat kedua
tangannya, lalu ia mendo’a qunut, maka kami berkata : Bahwa Hadits ini lemah,
lantaran terdapat pada isnadnya seorang yang bernama ‘Abdullah bin Sa’id
Al-Maqbarie, dan dia itu telah dilemahkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Ma’ien, Fallas,
Yahya bin Sa’id, Daraquthni,dan lain-lainnya, dan adapun pengesahan Imam Hakim
akan Hadits yang tersebut, tidak boleh dianggap, oleh karena dia itu sering
kali mengesahkan hadits yang lemah dan palsu[9].
KESIMPULAN
Dari uraian di
atas sedikitnya dapat disimpulkan bahwa antara Sholat Subuh dengan berqunut dan
tidak dengan berqunut, keduanya mempunyai
dasar masing-masing, antara yang satu dengan yang lainnya.
Akan tetapi dilihat dari kekuatan hadisnya bahwa dalam riwayat
Ahmad, Nasa’i dan Turmudzi dari Abu Malik al-Asyja’i, dan riwayat H.R. Ibnu
Khuzaimah, dan dikuatkan oleh hadits H.R. Sa’ied bin Manshur, yang artinya: “Telah
berkata Abu Hurairah: Bahwa Nabi saw. tak pernah berqunut pada sholat subuh
melainkan apabila ia mendo’akan (kebaikan) atas suatu kaum, atau mendo’akan
(kecelakaan) atas suatu kaum.” Sependek penetahuan penulis hadits ini cukup
kuat, di bandingkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Hakim.
Inilah agaknya pendapat yang lebih
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Tetapi bagaimanapun perselisihan
para ulama dalam hal ini, maka qunut itu termasuk sesuatu hal yang mubah, boleh
dilakukan atau ditinggalkan. Hanya saja yang sebaik-baiknya adalah yang berasal
dari petunjuk Nabi Muhammad saw.
DAFTAR PUSTAKA
Hassan. A. 1985. Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama,
(Bandung: CV Diponegoro,)
Sabiq. Sayyid. 1973. Fiqih Sunnah jilid 1-2. (Bandung: PT
AL-MA’ARIF)
BIOGRAFI PENULIS
Chaerul
Fuad, lahir di Pemalang 22 tahun silam tepatnya tanggal 11 Mei 1993, mengawali
pendidikan formalnya mulai dari SD N 01 Temuireng, lulus tahun 2005,
melanjutkan ke MTs Negeri Petarukan lulus tahun 2008, dan lanjut ke sekolah
menengah atas di kota yang sama, tepatnya di MAN Pemalang lulusan tahun 2011.
Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan strata 1 di STAIN Pekalongan dengan
mengambil konsentrasi program studi ahwalus syahsiyyah atau hukum keluarga
islam. Untuk sekedar sapa salam dapat mengubungi 0857-2627-7713 atau bisa lewat
e-mail chaerulfuad@yahoo.com
[1]
Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT AlMa’arif, 1973), hlm.3.
[2]
Hasil
diskusi dan jawaban dari bapak jumakir, salah satu tokoh agama di kampung
penulis. (diambil dari kitab fiqih sunnah, jilid 2 hlm 53.)
[4]
A.
Hassan, Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, (Bandung: CV Diponegoro,
1985), hlm. 129.
[5]
Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 1-2, (Bandung: PT AL-MA’ARIF, 1973), hlm.52-53.
[6]
A.
Hassan, Op Cit.,hlm.130.
[7]
Sayyid
Sabiq, Op Cit.,hlm.53.
[8]
Ibid.,hlm.52.
[9]
A.
Hassan, Op Cit.,hlm. 134.
KATA KATA SINGKAT MUTIARA CINTA
ReplyDeleteGORESAN PENA TENTANG QOLBU
ISYARAT BAHASA DALAM TUBUH