Monday 30 March 2015

DHIHAR dan KAFFARATNYA Tafsir Surat Al – Mujadalah Ayat 2 - 4



PENDAHULUAN

            Pada dasarnya Al-quran adalah kitab suci yang sangat ijmal ( global ) yang mana didalamnya mengandung beberapa unsur – unsur kandungan ayat – ayat yang masih dibutuhkan pemahaman yang mendalam terutama dalam hal masalah hukum – hukum yang di ambil dari Al- quran ,hal ini perlu menggunakan tafsir, karena hanya melalui metode itulah kita bisa mengetahui maksud – maksud hukum yang terkandung didalamnya.

            Melalui pendekatan muqaranah , tafsir ayat – ayat ahkam ini akan membahas beberapa ayat yang mengandung hukum. Dalam hal ini makalah yang kami sajikan ini akan membahas tafsiran – tafsiran ayat ahkam yang terkandung dalam surat Al-Mujadalah ayat 2 - 4 yang menjelaskan masalah tentang Dhihar. Karena Dhihar menjadi salah satu hukum dalam keluarga islam yang melarang menyamakan punggung isteri sama seperti punggung ibunya, maka dari itulah perlunya membahas dhihar melalui surat Al – Mujadalah  ayat 2 - 4 melalui metode tafsirnya.
            Surat Al-Mujadilah atau Al-Mujadalah menurut mayoritas ulama adalah Madaniyah. Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengemukakan riwayat yang menyatakan bahwa hanya sepuluh ayatnya pada awal surat yang Madaniyyah, sedang sisanya turun sebelum  Nabi berhijrah ke Madinah. Riwayat lain hanya mengecualikan ayat tujuh.
            Namanya terambil dari ayat pertama surat ini yang menguraikan debat yang dilakukan oleh seorang wanita terhadap Nabi saw. jika penamaan berdasarkan pelaku maka ia dinamai Mujadilah, dan jika dilihat perdebatan itu sendiri serta dialog yang terjadi antara wanita itu dengan Nabi saw. maka namanya adalah al-mujadalah. Nama lain dari surat ini adalah Qad sami’a Allah karena itulah kalimat pertama pada ayatnya yang pertama. Ada juga yang mmenamainya surat Azh-Zhihar karena surat ini membatalkan adat kebiasaan masyarakat jahiliyah-yang juga di praktekkan oleh kaum muslimin pada masa itu.[1] 






BAB II
PEMBAHASAN


A.     Al – Qur’an Surat  Al – Mujadalah Ayat : 2 - 4

Artinya :

(2) “Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”.
(3) “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(4) Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.[2]

B.     MAKNA GLOBAL

Bahwasannya Allah Maha Mendengar lagi Maha Dekat, Ia akan selalu mengabulkan segala do’a. Disini ada wanita datang ke tempat Rasulullah saw. mengadukan akan kezhaliman suaminya, yaitu dia tidak menyentuhnya dengan menggunakan suatu ucapan yang biasa dipergunakan kaum jahiliyah. Perempuan itu menannyakan, apakah ucapan seperti ini masih tetap  diakui oleh islam?
Ia mengadukannya kepada Rasulullah saw. sambil mengharapkan petunjuk kepada Allah SWT. yang selalu mengetahui seluruh rahasia langit dan bumi.  Ia mengadu kepada Allah akan keberatan hatinya, sedangkan ia sendiri tidak berdaya apa-apa, tidak ada pembela  dan penolong. Umur suaminya itu sudah lanjut dan anak-anaknya masih kecil-kecil. Sehingga apabila anak-anaknya itu turut ayahnya, mereka akan terabaikan, tetapi kalau turut ibu, merka akan kelaparan.[3]
Rasulullah saw, sendiritidak berani memberikan keputusan hukum, karena memang beliiau tidak berwenang. Beliau hanya memperturutkan wahyu yang datang dari Allah. Sedangkan dalam masalah dhihar ini belum ada wahyu apa pun. Justru itu beliau tidak berani menetapkan hukum, tetapi beliau hanya menyatakan :

ماَ ارَا كَ اِلاّ قَدْ حَرُمْتِ عَلَيْهِ

Artinya : “Aku tidak tahu tentang engkau, melainkan engkau haram atasnya”.
Atas jawabab itulah, maka perempuan tersebut lalu membantah Nabi saw. Dan ternyata Allah SWT. mengabulkan permohonan perempuan yang lemah yang sedang sendirian itu, yaitu dengan menurunkan wahyu (kepada Nabi Muhammad saw) untuk disampaikan kepada suami yang mendhihar isteri-isterinya itu : Bahwa isterimu yang engkau dhihar itu bukanlah ibumu. Itulah hukum Allah tentang kasus dhihar. Oleh karena itu percayalah, bahwa hukum ini adalah berasal dari Allah. Ikutilah Dia dan turutlah semua batas-batas ketentuanNya, jangan kamu langgar.

C.     SABABUN NUZUL

1.         'Aisyah r.a mengatakan: “Allah Tabaraka wa Ta’ala” memang Maha mendengar suara. Pada suatu ketika datanglah seorang wanita mengadu kepada Rasulullah saw, yang ketika itu aku berada dipinggir rumah sambil mendengarkan percakapan perempuan tersebut. Namun tidak seluruhnya saya dengarkan, ada sebagian yang sayup-sayup bagiku. Perempuan itu mengadukan polah suaminya (yang mendhiharnya). Dia katakan: Ya Rasulullah! Suamiku telah menguji anak-anakku, padahal perutku telah melahirkan (bayi) untuknya, sehingga setelah usia lanjut dan anakku telah berpisah (disapih) tahu-tahu dia mendhihar aku. Ya Allah, aku mengadukan hal ini kepada-Mu.
2.             Ibnu ‘Abbas r.a.m mengatakan: “Sudah menjadi kebiasaan jahiliyah, apabila seorang suami mengatakan ‘anti ‘alaiya kazhahri ummi’, maka si isteri tersebut menjadi haram atas suami. (Omongan itu dikenal dengan istilah dhihar). Sedang pertama kali terjadi dhihar dalam islam yaitu peristiwa Aus (yang mendhihar isterinya) lalu dia menyesal. Untuk itu dia menyuruh isterinya menghadap Rasulullah saw. untuk menannyakan perihal kasusnya itu. Maka ia pun kemudian datang. Lalu turunlah ayat-ayat diatas.
3.              Khaulah binti Malik bin Tsa’labah mengatakan: “Suamiku, Aus bin Tsamit mendhihar aku, lalu aku menghadap Rasulullah saw. untuk mengadakan halku itu, tetapi beliau malah mendebatku seraya mengatakan: ‘Takutlah engkau kepada  Allah, bahwa suamimu itu adalah anak pamanmu’. Aku tidak pernah putus asa, hingga turun ayat “Sungguh Allah mendengarkan perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya.... sampai perintah memerdekakan hamba sahaya”. Katanya: ‘Memerdekakan hamba sahaya’. Kujawab: Dia (suamiku) tiddak mampu. Lalu Rasulullah saw. bersabda: ‘Kalau begitu puasa dua bulan berturut-turut’. Kujawab: Ya Rasulullah, dia  sudah tua bangka, tidak mungkin kuat puasa. Maka sabdanya: ‘Kalau begitu hendaklah dia memberi makan enam puluh orang miskin’. Kujawab: Dia tidak punya apa-apa, yang bisa dipergunakan untuk sedekah. Sabda Rasulullah: ‘Akan ku bantu dengan  sekarung kurma’. Dan kujawab: Ya Rasulullah aku sendiri juga akan membantunya dengan sekarung kurma. Sabdabnya kemudian: ‘Bagus, pulanglah dan berikanlah duakarung kurma itu kepada enam puluhh orang miskin, dan kembalilah engkau kepada anak pamanmu itu’.[4]

D.     TAFSIR
·           قَدْ  (qad = sungguh) ini oleh ahli-ahli bahasa arab dikatakan sebagai suatu kata yang menentukan suatu kepastian, apabila masuk pada fi’il madhi’(kata kerja yang menunjukkan masa telah lalu), dan dengan arti kadang-kadang kalau masuk pada fi’il mudhari’(kata kerja yang menunjukkan masa yang akan datang). Tetapi ‘qad’ dalam firman Allah Ta’ala selalu berarti pasti, baik masuk pada fi’il madhi’ maupun pada fi’il mudhari, misalnya firman Allah :

قَدْ يَعْلَمُ اللهُ الْمُعَوِّقِيْنَ مِنْكُمْ.  الأخرا ب : 18

Artinya : “Sungguh Allah mengetahui orang-orang diantara kamu yang menghalang-halangi (orang masuk islam)”. (QS. Al-Ahzab 18)

Al-jauhari dalam kamus As-Shihah mengatakan : Bahwa ‘Qad’ itu hanya masuk pada  fi’il. Zamakhsyari berkata: Ma’na ‘qad’ itu ialah menanti hasil, karena Nabi saw dan perempuan yang mengadu tersebut sama-sama menanti turunnya ayat yang memecahkan masalah pengaduannya itu. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘mendengar Allah terhadap perkataan perempuan’ tersebut, adlah mengabulkan do’anya, bukan semata-mata mendengarkan (karena memang Alloh Maha mendengar). Ini,sama dengan ucapan orang yang sedang sholat “sami” allahu liman hamidah” (Allah mendengarkan orang yang memuji-Nya).
·           ظِهَارَ Zihar : Secara etimologis, berasal dari kata zahara tetapi banyak makna yang dimaksud dari padanya karena banyaknya tujuan. Misalnya zahara fulanun fulanan (si fulan membantu si fulan). Zahara baina Saubaih (dia mengenakan dua pakaiannya, yang satu di atas yang lainnya). Zahara min Imra’atih (mengatakan kepada isterinya, “Engkau seperti pungguung ibuku”. Maksudnya isterinya itu haram baginya) Yang demikian ini merupakan talaq (perceraian) paling hebat di masa jahiliyyah.[5]

Kata (يظاهرون) yuzhahirun terambil dari kata ((ظهر zhahr yakni punggung. Isteri yang digauli diibaratkan dengan kendaraan yang ditunggangi. Orang-orang Yahudi melarang menggauli isteri dari belakang. Mereka menganggapnya dapat mengakibatkan lahirnya anak yang cacat. Nah, orang-orang Arab Madinah, para pengucap zhihar yang bergaul dengan orang-orang Yahudi itu, bermaksud menekankan kehharaman menggauli istrinya dengan menggunakan dua macam penekanan. Yang pertama Menjadikannya seperti ibunya, dan kedua menggaulinya dari punggung/belakang. Demikian Ibn ‘Asyur.[6]
Hakikat zhihar adalah menyerupai punggung yang satu dengan punggung yang lain, dan  yang menjadi tolak ukur dari hukum zhihar disini adalah penyerupaan punggung yang halal (punggung istri) dengan punggung yang haram (punggung ibu). Oleh karena itu, para fuqaha’(ahli fiqih) sepakat  bahwa barang siapa yang berkata kepada istrinya, “Kamu bagiku sudah seperti punggung ibuku,” maka ia disebut sebagai mudzahir (orang yangg melakukan Zhihar).[7]
Sebagian besar dari para fuqaha’tersebut berpendapat, bahwa siapa saja yang berkata kepada istrinya,’Kamu bagiku sudah seperti punggung anak perempuanku, atau saudara perempuanku, dan selainnya dari keluarganya yang merupakan mahram baginya, maka ia adalah seorang muzhahir. Ini merupakan pendapat Imam Malik, Abu Hanifah, dan  selain mereka berdua.
Tetapi Asy-Syafi’i RA memiliki pandangan lain, ia beranggapan yang sah dikenakan hukum zhihar adalah apabila seorang suami menyerupakan punggung istrinya gdengan punggungg ibunya yang merupakan mahram mu’abbadnya.
Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i, ia menggatakan bahwa sesungguhnya zhihar tidak dapat dihukum kecuali hanya kepada ibu saja, ini merupakan madzhab Qatadah dan Asy-Sya’bi, sedangkan yang pertama adalah perkataan Al Hasan, An-Nakha’i, Az-Zuhri, Al Auza’i dan Ats-Tsauri.
·           Kata ((يتماساّ yatamassa terambil dari  kata ((مسّ mass yang secara harfiah berarti menyentuh. Kata ini biasa digunakan dalam arti persentuhan dua alat kelamin pria dan  wanita. Atas dasar itu ada yyang memahaminya demikian. Tetapi ada juga yang memahaminya dalam arti cumbu antara pusar dan lutut. Bahkan ada yang  lebih ketat lagi, dengan menyatakan walau dalam  bentuk cumbu yang sekecil-kecilnya.

Dalam ayat ke tiga ini makna kehendak kembali tersebut di perselisihkan maknanya oleh para ulama. Riwayat menyangkut pendapat Imam Malik berbeda-beda. Riwayat pertama adalah keinginan suami untuk mempertahankannya sebagai istri sekaligus untukmenggaulinya. Riwayat kedua memahami makna kehendak kembali dalam arti tekad untuk menggaulinya. Inilah pendapat Imam Malik yang populer dan ini juga pendapat Imam Ahmad Ibn Hambal serta Abu Hanifah. Riwayat ketiga yang juga dinisbahkan kepada Imam Malik adalah bukan saja ia baru dinilai menginginkan kembali kalau dia benar-benar telah menggaulinya. Imam Syafi’i berpendapat bahwa kehendak kembali itu bermakna adalah kehendaknya untuk tetap menganggapnya sebagai istri dan berlalunya waktu setelah ucapannya.[8]
·           Dalam Firman Allah SWT وَالّذِيْنَ يُظَهِرُوْنَ مِنْ نِّسَا ئِهِمْ  “Orang-orang yang menzhihar istri mereka,” kalimat ini merupakan mubtada’, sedangkan Khabarnya adalah فَتَحْرِيْرُرَقَبَةٍ  “Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak,” kata alaihim (wajib atasnya) dihilangkan agar isyarat kata menuju kepada kalimat di atas, yaitu maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak.

Ada yang mengatakan, yakni Kaffaratnya berupa memerdekakan seorang budak, sudah merupakan ijma’ para ulama zhihar adalah perkataan seseorang kepada istrinya, ‘Kamu bagiku sudah seperti Punggung ibuku,’ ini adalah ucapan yang mungkar dan  dusta, yang telah disinyalir oleh Allah SWT dalam firman –Nya,وَاِنَّهُمْ لِيَقُوْلُوْنَ مُنْكَرًامِّنَ الْقَوْلِ وَزُوْرًا  “Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta.”






E.     KANDUNGAN HUKUM

a.        Dhihar itu sama dengan talak atau sekedar haram?
Dhihar, di zaman jahiliyah berarti talak. Bahkan dipandangan talak yang paling hebat, kerena di dalamnya terkandung suatu penyamaan isteri dengan ibu yang jelas haram bagi seorang anak untuk selama-lamanya, dengan perkawinan cara apa pun. Kemudian Islam datang untuk menghapus hukum tersebut, dan menjadikan dhihar ini sebagai penyebab haramnya seorang isteri bagi suaminya membayar kaffarat terlebih dahulu. Tetapi tidak menetap sebagai talak sebagaimana yang berlaku  di zaman jahiliyah.[9]
Jadi, kalau seorang laki-laki mendhihar isterinya tetapi dengan maksud talak, maka tetap menjadi dhihar; dan sebaliknya jika dia mentalak isterinya tetapi dengan maksud dhihar, tetap menjadi talak. Penilaian di sini adalah “ungkapan” yang dipergunakannya, bukan semata-mata niat, sehingga satu sama lain tidak bisa saling mengganti.
Ibnul Qayim berkata: “Ini, adalah karena dhihar yang oleh kebiasaan jahiliyah dipandangnya sebagai talak itu telah dihapus. Maka tidak layak kalau hukum yang telah dihapus itu di ulang kembali. Lalu pula, Aus bin Shamit sendiri – yang merupakan pelaku bagi sebab turunya ayat ini memang berniat talak seperti yang biasa berlaku di zaman jahiliyah itu dengan mempergunakan istilah dhihar, yang selanjutnya dia dikenakan hukuman dhihar bukan talak. Dan memang hukum dhihar ini sudah cukup jelas, sehingga tidak perlu lagi mempergunnakan kata kinayah (sindiran) terhadap hukum yanng telah dibatalkan oleh Allah itu. Sedang hukum Allah adalah lebih cocok dan lebih  wajib dilaksanankan.”
Para ulama pun telah sepakat atas haramnya dhihar ini, dan tidak boleh dipergunakan,  sebab dhihar itu suatu kedustaan, dosa dan mengada-ada. Ia jauh berbeda dengan talak. Talak memang  dibenarkan, dan dhihar ini dilarang. Jadi kalau ada seseorang mengatakan dhihar kepada isterinya berrati dia melakukan perbuatan haram dan harus membayar kaffarat.[10]
b.        Beberapa Konsekuensi Hukum Dhihar
Apabila seseorang suami mendhihar isterinya, maka ada dua akibat hukum:
a)        Haram mencampuri isterinya, sampai dia membayar kaffarat. Berdasarkan firman Allah: “Maka dia harus memerdekakan seorang hamba sahaya, sebelum mereka berdua itu bersentuhan.”
b)        Wajib membayar kaffarat untuk kembali kepada isterinya itu. Karena Allah berfirman: “Dan orang-orang yang mendhihar isteri-isteri mereka kemudian mereka hendak kembali (mencabut) apa yang  ereka katakan itu, maka merdekakanlah seorang hamba sahaya.. dan  seterusnya.

c.         Apakah dhiharnya ghairu muslim seperti kafir dzimmi dan kafir kitabi itu dipandang sah?
Dalam hal ini, ulama-ulama hanafiyah, malikiyah, dan hanabilah berpendapat, bahwa dhiharnya kafir dzimmi dan kafir kitabi itu  dinilai tidak sah. Kerena dalam firman Allah tentang dhihar itu dipergunakan kata-kata “Minkum” (diantara kamu). Sedangkan “minkum” itu untuk orang islam. Jadi selain muslim tidak terkenna hukum tersebut.
Sementara ulama Syafi’iyah mengatakan: Sebagaimana talaknya kafir dzimmi itu dipandang sah, dengan segala konsekuensinya, maka begitu juga halnya dhihar.
Tarjih
Aku (ash-Shabuni) berpendapat : Yang betul adalah pendapat  jumhur. Alasan mereka dengan adanya “pembebasan hamba dan puasa” dalam kaffarat itu cukup kuat. Adapun alasan dengan memaham kata “minkum” itu tidak begitu kuat. Karena ayat tersebut diungkapkan guna mengecam dan mencela. Karena dhihhar itu hanya dikenal hanya dikenal di kalangan bangsa arab. Sehingga di dalam ayat tersebut tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan  hukum dhihar ini berlaku buat mereka (yang bukan beragama islam) . Walluhu a’lam..
d.      Dhiharnya isteri, apakah bisa dinilai sah??
Para ula fiqih sepakat, bahwa isteri tidak berwenang menyatakan dhihar kepada suaminya. Jadi, misalnya ada seorang isteri mengatakan kepada suaminya: “anta a’laiya kazhahri ummi”, maka ucapan tersebut tidak dipandang sebagai dhihar dan tidak berakibat hukum sama sekali.
Tetapi sementara diriwayatkan dari Imam ahmad dalam salah satu kaulnya, bahwa isteri yang mengucapkan kalimat dhihar kepada suami itu dikarenakan kaffarat bila dia disetubuhi oleh suaminya . Inilah yang dipilih oleh Al-Harqi.[11]



e.        Kaffarat Dhihar
1)        Memerdekakan hamba sahaya
Menurut dhahir ayat di atas, bahwa hamba sahaya di sini adalah mutlak, ya’ni semua jenis hamba, sekalipun kafir(?).
Menurut ulama hanafiyah, bahwa kaffarat itu dapat dilakukan dengan memerdekakan hamba sahaya baik kafir maupun yang beriiman, pria maupun wanita, besar/tua maupun kecil/muda, bahkan yang masih menyusu pun boleh. Karena sebutan ‘hamba’ meliputi semuanya itu.
Menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah, bahwa dipersyaratkanhamba yang beriman. Jadi selain hamba yang beriman tidak sah untuk kaffarat. Alasannya, karena dalam ayat qatl (ayat yang membicarakan soal pembunuhan yang di situ disebutkan adanya pembayaran diyat/kaffarat) disebutkan ‘haruslah memerdekakan seorang hamba yang beriman.
2)        Puasa dua bulan berturut-turut
Puasa dua bulan berturut-turut ini diwajibkan bagi orang yang tidak mampu memerdekakan hamba sahaya. Hitungannya berdasarkan hilal (bulan), tanpa dibedakan apakah bulan itu genap atau ganjil (29 hari atau 30 hari –pen). Tetapi kalau dia berpuasa tanpa menggunakan hitungan hilal, maka dia harus berpuasa selama 60 hari. Demikian menurut pendapat ulama Hanafiyah. Tetapi mmenurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah, dia harus berpuasa sampai datangnya hilal baru, kemudian berpuasa sebulan penuh berdasarkan perhitungan hilal, sedang yang pertama tadi disempurnakan dengan hitungan  (misalnya yang pertama tadi berpauasa di perengan bulan, maka harus digenapkan sampai 30 hari –pen).[12]
3)        Memberi makan 60 orang miskin
Abu Hayyan berpendapat,bahwa zhahirnya bentk makanan itu adalah mutlak, tetapi kemudian bisa ditakhshiskan dengan makanan yang menjadi kebiasaan ketika turunnya ayat tersebut, yaitu makanan yang mengenyagkan, tanpa dibatasi dengan mud (takaran).
Imam Malik dan Syafi’i berpendapat, makanan yang kuranng dari 60 orang tidaklah cukup.
Sedang Abu Hanifah cs, mengatakan : seandainya orang tersebut memberi makan setiap hari kepada seoorang  miskin sebanyak ½ sha’ sampai mencapai jumlah 60 hari, maka yang  demikian itu dipandang cukup.  


[1]M.Quraish shihab,Tafsir Al-Mishbah,(Jakarta : Lentera Hati,2002),hal. 57
[2] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, (Semarang : PT Karya Toha Putra, 1993),hal. 1-2
[3] Mu’ammal Hamidy dan Drs. Imron A. Manam, TERJEMAHAN TAFSIR AYAT AHKAM ASH-SHABUNI 3, (Surabaya : PT Bina Ilmu,1998), hal.156
[4] Ibid., hlm.159.
[5]Ahmad Mustafa Al-Maragi, op.cit., hlm. 3.
[6] M. QURAISH SHIHAB, op.cit,. hlm. 63.
[7] Dudi Rosyadi, Faturrahman, Fachrurazi dan Ahmad Khatib, Al Qurthubi,Syaikh Imam, (Jakarta : PUSTAKA AZZAM, 2009), hlm. 114-115.
[8] M. QURAISH SHIHAB, op.cit,. hlm. 66-67.
[9] Mu’ammal Hamidy dan Drs. Imron A. Manam, op.cit., hlm. 165
[10] Ibid.,
[11] Ibid., hlm.172
[12] Ibid., hlm.175

1 comment:

  1. Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong

    ReplyDelete