Monday 13 April 2015

Mengikuti Imam ketika membaca Qunut / Tidak.



PENDAHULUAN
       Kewajiban beribadah bagi umat Islam sebagai manifestasi iman dari mukminin dan mukminat,seharusnya dilakukan dengan tata cara tempat dan waktu berdasarkan perundangan Islam yang bersumber pada Al-Quran dan Sunnah Rasul (Hadis)[1].
          Tata cara peribadatan kaum muslimin Indonesia, dilakukan berdasarkan perundangan (Hukum Fiqh) yang memang menjadi panutan pokok bagi setiap umat Muslim di Indonesia dan juga kitab-kitabnya banyak beredar di tanah air kita. Namun, dalam prakteknya di masyarakat banyak  kita temukan perbedaan-perbedaan satu sama lain dan karenanya adakalanya terjadi perselisihan pengertian dan pendapat di kalangan umat Islam sendiri dan adakalanya pula merupakan sumber perpecahan di kalangan umat yang dapat melemahkan hubungan ukhuwah Islamiyah dan persatuan umat. Untuk lebih jelasnya mengenai contoh perbedaan pendapat yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, dapat disimak dalam uraian krononogi di bawah ini.     


Kejadian Perkara:
          Dalam permasalahan Qunut terdapat banyak perbedaan pendapat yang satu dengan yang lainnya, ini menjadi hal yang cukup menarik untuk di selidiki. Permasalahan ini saya temukan di Desa Temuireng, Kec. Petarukan Kab Pemalang, saya mencoba bertanya kepada salah satu tokoh masyarakat di Desa itu yang bernama Bapak Jumakir, dengan pertanyaan seperti ini: bolehkah ketika Imam sholat subuh membaca qunut, lalu ma’mum yang dibelakangnya tidak mengikuti Imam dengan tidak membaca qunut atau tidak mengangkatkan tangan untuk mengamininnya? Kemudian Bapak Jumakir tersebut menjawabnya dengan alasan: berdasarkan pada Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Daruquthni dan Hakim yang menganggapnya shahih, dari Anas, berkata:
مَا زَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم" يَقْنُتُ في صلاة الفجر حتى فارق الدُّنْيَا"

Artinya: Rasulullah  saw.itu selalu berqunut pada shalat subuh sampai beliau wafat .Hadits sahih riwayat dari Anas[2].
          Kemudian saya dengan polosnya menanggapi jawaban tersebut, dengan berkata: tetapi kalau seorang yang backgroundnya aliran muhammadiyah, kemudian tidak mau mengikuti Imam ketika sholat subuh membaca qunut dan waktu itu kebetulan  berjamaah di Masjid yang mayoritas aliran NU. Apakah sholat subuhnya itu tidak sah atau harus di ulangi?
          Lalu Bapak tersebut menjawabnya dengan cepat, dengan mengatakan: iya, karena sholatnya tersebut tidak mengikuti Imam, dan Imam itu harus diikuti[3]. Ketika itu saya mulai ingat dengan tugas perbandingan madzhab, yang di suruh buat laporan lapangan mengenai masalah khilafiyah fiqh perbandingan. Tanpa pikir panjang lagi dan saya juga sudah pusing, masalah ini saya jadikan tugas.  

Solusi :
Dari permasalahan di atas dapat kita ambil beberapa pelajaran, harusnya sebagai tokoh masyarakat, seharus mampu menjadi media untuk menjembatani seputar masalah-masalah tersebut, bukan justru mengedepankan argumen  yang menurutnya paling benar, sehingga menimbulkan perselisihan. Mereka seharusnya mampu bersikap lebih dewasa lagi dalam menanggapi argumen dari orang lain atau masyarakat lain, mungkin orang lain tersebut mempunyai dasar sendiri dalam masalah ‘mengikuti/tidak mengikuti Imam ketika berqunut dalam sholat subuh’.
Sebagai tokoh ulama di masyarakat, walaupun masing-masing punya background organisasi yang berbeda, dalam menanggapi perselisihan tersebut seharusnya mereka mampu menjelaskan secara objektif dan bersikap lebih dewasa bagaimana yang seharusnya disikapi, bukan malah saling kuat-kuatan argumen yang imbasnya membuat bingung orang lain (termasuk saya), kalaupun pendapat dari orang lain yang lebih bisa di terima secara akal dan pikiran manusia sebaiknya menerima dengan lapang dada, tidak perlu kaku. Dan kalaupun dia hanya ikut-ikutan dan tidak mengetahui dasar setiap perbuatannya (dalam hal ini qunut).
Mereka seharusnya bisa saling menerima pendapat satu sama yang lainnya masing-masing, dan mau untuk belajar, memuntut ilmu, bertanya kepada yang lebih paham atau mencari. Namun demikian bertanya juga harus dari berbagai sumber, tidak hanya pada satu rujukan, karena harus kita sadari bahwa ini adalah masalah khilafiyah, tentu tidak akan ada bedanya jika kita hanya bertanya pada satu sumber dan satu golongan saja.

Perspektif Perbandingan Fiqh :
Sebelum menerangkan shah tidaknya shalat subuh yang tiada dengan do’a qunut saya akan mencoba menerangkan lebih dahulu, perihal persoalan do’a qunut.
Ketahuilah bahwa difashal yang tersebut ulama-ulama fiqh telh mufakat, bahwa do’a qunut itu tidak boleh dikerjakan di sholat : Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, melainkan ada kecelakaan atau ada musibah[4]. Adapun qunut di sholat Subuh, maka mereka itu ada berlawanan pendapat.
Firqah yang pertama berpendapat, bahwa do’a qunut itu boleh dikerjakan di waktu sholat Subuh, walaupun bukan di waktu kecelakaan, firqah yang kedua pendapatnya berlawanan dari yang tersebut itu.
·               Pendapat yang pertama (Firqah yang pertama):
Adapun menurut madzhab Syafi’i maka berqunut dalam sholat Subuh sesudah rukuk dari raka’at kedua itu adalah sunnah. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh jama’ah selain Turmudzi dari Ibnu Sirin, bahwa[5]:
اَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ سُئِلَ :هَلْ قَنَتَ النَّبِيُّ صلّى الله عليه وسلم فِى صَلَاةِ الصُّبْحِ ؟ فَقَالَ :نَعَمْ. فَقِيْلَ لَهُ: قَبْلَ الرّكُوْعِ أَوْ بَعْدَهُ؟ قَال: بَعْدَ الرَّكُوْعِ .   
“Anas bin Malik pernah ditanya demikian: ‘apakah Nabi saw. berqunut dalam sholat Subuh’? Ia menjawab: ‘Ya’. Ditanya pula: ‘Sebelum ruku’ atau sesudahnya’? Ia menjawab: ‘sesudah ruku’.”
Dalam menggunakan hadis ini sebagai dalil, haruslah ditinjau terlebih dahulu, sebab kemungkinan sekali bahwa yang ditanyakan tadi itu adalah qunut nazilah (karena ada bahaya) dan dalam hal ini sudah jelas sunatnya dalam riwayat Bukhari dan Muslim.
Ada lagi hadis yang diriwayatkan oleh Imam Hakim:
قال ابوهريرة :كان رسول الله صلى الله عليه وسلم. اِذَارَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ فِيْ صَلاَةِ الصُّبْحِ فِيْ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ رَفَعَ يَدَيْهِ فَيَدْعُوْبِهَذَاالدُّعَاءِ. الّلهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عافَيْتَ. {ح . ر . الحا كم}
Artinya : Telah berkata Abu Hurairah : Adalah Rasulullah saw. apabila mengangkat kepalanya dari ruku’ shalat subuh pada raka’at yang kedua,  beliau mengangkat kedua tangannya, lalu mendo’akan dengan do’a ini : Allahummahdini...... (H.R. Hakim) Imam Hakim berkata : Hadis ini Shahih[6].
Tentang hadis yang pertama yang dijelaskan oleh Bapak Jumakir selaku tokoh masyarakat tersebut di atas, yang menyatakan bahwa Nabi saw. berqunut selama hayatnya, maka di dalam sanad hadis itu ada seorang yang bernama ja’far ar Razi. Ia bukan seorang yang kuat dan hadisnya tidak dapat digunakan sebagai hujjah, sebab tidak masuk dalam akal kita bahwa selama hidupnya Rasulullah saw. berqunut dalam shalat subuh, tetapi ditinggalkan begitu saja oleh para khalifah sesudahnya.bahwa ada keterangan bahwa Anas sendiri juga tidak berqunut dalam  shalat subuh.
Jadi andai kata hadis di atas itu dianggap sah, maka yang dimaksudkan bahwa Nabi saw. selalu berqunut itu ialah memperpanjang berdiri sehabis rukuk untuk berdoa ataumengucapkan puji-pujian sampai beliau saw. meninggal dunia, sebab perbuatan semacam ini pun termasuk pula dalam arti qunut[7].
·               Pendapat yang kedua (Firqah yang kedua):
Telah terkenal dengan terang sekali di antara ulama-ulama Hadis, bahwa menurut keterangan Hadis-hadis yang shahih, sesungguhnya Qunut itu tak pernah di jalankan oleh Nabi saw. melainkan di waktu ada nazilah (kecelakaan) dan Nabi saw. tak menggunakan do’a qunut di dalam shalat lima waktu.
Diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i dan Turmudzi yang menganggapnya sebagai hadits shahih dari Abu Malik al-Asyja’i berkata:
- كَانَ أَبِى قَدْ صَلَّى خَلْفَ رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وهوابْن سِتِّ عَشَرَةَ سَنَةً, وَأَبِى بكرٍ وَعُمَرَ وَعثْمانَ. فَقُلْتُ أَكَانُوْايَقْنتُوْنَ؟ قَالَ : أَىْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ .
Artinya: Ayahku bershalat di belakang Rasulullah saw. ketika masih berusia 16 tahun, juga di belakang Abu Bakar, Umar dan Utsman. Saya bertanya: apakah beliau-beliau itu berqunut? Ayah menjawab: “Tidak,wahai anakku, itu hanya suatu yang diada-adakan.[8]

Dari keterangan hadis tersebut adalah bahwa Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair dan Khalifah-khalifah yang tiga (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) bahwa beliau-beliau semua tidak ada yang berqunut dalam shalat subuh. Demikian Madzhab golongan Hanafi, Hanbali, Ibnu Mubarak, Tsauri dan Ishak.
Ada juga hadis yang  diiriwayatkan  oleh H.R. Ibnu Khuzaimah :
قَالَ اَنَسٌ : اِنَّ النَّبِيَّ ص. لَمْ يَكُنْ يَقْنُتُ اِلاَّ اِذاَد عا لِقَوْمٍ اَوْ دَعَا عَلى قَوْمٍ. (ح.ر. ابن خز يمة)

Artinya : Telah berkata Anas: Bahwa Nabi saw.itu tidak pernah berqunut, melainkan hanya apabila mendo’akan (kebaikan) bagi suatu kaum, atau mendo’akan (kecelakaan) atas suatu kaum. (HR Ibnu Khuzaimah).
Hadis di atas tersebut diperkuat juga dengan hadis yang diriwayatkan oleh H.R. Sa’ied bin Manshur, yang artinya: “Telah berkata Abu Hurairah: Bahwa Nabi saw. tak pernah berqunut pada sholat subuh melainkan apabila ia mendo’akan (kebaikan) atas suatu kaum, atau mendo’akan (kecelakaan) atas suatu kaum.”
Dari hadits yang no 3 diatas, yang diriwayatkan oleh oleh Imam Hakim yang mana maksudnya itu, bahwa Nabi saw. ditiap-tiap mengangkat kepalanya dari ruku’ shalat subuh pada raka’at yang kedua sambil mengangkat kedua tangannya, lalu ia mendo’a qunut, maka kami berkata : Bahwa Hadits ini lemah, lantaran terdapat pada isnadnya seorang yang bernama ‘Abdullah bin Sa’id Al-Maqbarie, dan dia itu telah dilemahkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Ma’ien, Fallas, Yahya bin Sa’id, Daraquthni,dan lain-lainnya, dan adapun pengesahan Imam Hakim akan Hadits yang tersebut, tidak boleh dianggap, oleh karena dia itu sering kali mengesahkan hadits yang lemah dan palsu[9].   
KESIMPULAN

Dari uraian di atas sedikitnya dapat disimpulkan bahwa antara Sholat Subuh dengan berqunut dan tidak dengan berqunut,  keduanya mempunyai dasar masing-masing, antara yang satu dengan yang lainnya.
Akan tetapi dilihat dari kekuatan hadisnya bahwa dalam riwayat Ahmad, Nasa’i dan Turmudzi dari Abu Malik al-Asyja’i, dan riwayat H.R. Ibnu Khuzaimah, dan dikuatkan oleh hadits H.R. Sa’ied bin Manshur, yang artinya: “Telah berkata Abu Hurairah: Bahwa Nabi saw. tak pernah berqunut pada sholat subuh melainkan apabila ia mendo’akan (kebaikan) atas suatu kaum, atau mendo’akan (kecelakaan) atas suatu kaum.” Sependek penetahuan penulis hadits ini cukup kuat, di bandingkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Hakim.
Inilah agaknya pendapat yang lebih  sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Tetapi bagaimanapun perselisihan para ulama dalam hal ini, maka qunut itu termasuk sesuatu hal yang mubah, boleh dilakukan atau ditinggalkan. Hanya saja yang sebaik-baiknya adalah yang berasal dari petunjuk Nabi Muhammad saw.








DAFTAR PUSTAKA

Hassan. A. 1985. Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, (Bandung: CV Diponegoro,)
Sabiq. Sayyid. 1973. Fiqih Sunnah jilid 1-2. (Bandung: PT AL-MA’ARIF)


















BIOGRAFI PENULIS

Chaerul Fuad, lahir di Pemalang 22 tahun silam tepatnya tanggal 11 Mei 1993, mengawali pendidikan formalnya mulai dari SD N 01 Temuireng, lulus tahun 2005, melanjutkan ke MTs Negeri Petarukan lulus tahun 2008, dan lanjut ke sekolah menengah atas di kota yang sama, tepatnya di MAN Pemalang lulusan tahun 2011. Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan strata 1 di STAIN Pekalongan dengan mengambil konsentrasi program studi ahwalus syahsiyyah atau hukum keluarga islam. Untuk sekedar sapa salam dapat mengubungi 0857-2627-7713 atau bisa lewat e-mail chaerulfuad@yahoo.com


[1] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT AlMa’arif, 1973), hlm.3.
[2] Hasil diskusi dan jawaban dari bapak jumakir, salah satu tokoh agama di kampung penulis. (diambil dari kitab fiqih sunnah, jilid 2 hlm 53.)

[4] A. Hassan, Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, (Bandung: CV Diponegoro, 1985), hlm. 129.
[5] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 1-2, (Bandung: PT AL-MA’ARIF, 1973), hlm.52-53.
[6] A. Hassan, Op Cit.,hlm.130.
[7] Sayyid Sabiq, Op Cit.,hlm.53.
[8] Ibid.,hlm.52.
[9] A. Hassan, Op Cit.,hlm. 134.

1 comment: