PENDAHULUAN
Robohnya khilafah Islamiyah
di Turki pada tahun 1924 benar-benar menjadi pukulan sangat telak pada
eksistensi ummat Islam. Khalifah Islam di Turki yang merupakan jangkar terakhir
kekuatan dan simbol ummat, telah diobok-obok oleh Kamal At-Taturk, bapak
sekularisme Turki yang tak lain adalah antek Barat yang dipasang di jantung
pusat kekuatan Islam.
Lenyapnya kekuasaan penyatu
ummat ini menimbulkan kegamangan yang sangat dalam di tubuh ummat yang tak lagi
memiliki garis komando tunggal. Sebab, telah dicabik-cabik dalam negara-negara
kecil dengan kepentingan sangat beragam, sehingga mudah disulut dan dibakar.
Dari rasa kegamangan inilah muncul "kerinduan" menggebu dalam dada
ummat untuk melahirkan kembali Islam sebagai kekuatan dan sekaligus sebagai
penyelamat dunia. Usaha-usaha ini dilakukan dengan cara pembentukan
gerakan-gerakan Islam.
Dalam kehidupan berbangsa hendaknya
setiap dari pada penduduknya harus mengetahui tentang suatu konsep yang
berkenaan dengan Negara tersebut. Setiap sistem mempunyai
falsafah dan gagasannya atau rancangannya
tentang kehidupan. Setiap sistem mempunyai
masalah-masalah yang timbul dari penerapannya
dan mempunyai persoalan-persoalan yang sesuai
dengan watak dan pengaruhnya di alam nyata.
Demikian pula setiap sistem mempunyai
penyelesaian-penyelesaian untuk menghadapi persoalan
dan masalah yang timbul dari watak dan kaedahnya.
Fikiran
logik yang sesungguhnya akan
berpendapat : Siapa yang bermaksud meminta
pendapat dari suatu sistem tertentu dalam
menyelesaikan masalah-masalah kehidupan, maka sistem ini
harus dilaksanakan terlebih dahulu dalam kenyataan hidup. Lalu setelah itu baru
dilihat apakah masalah-masalah itu masih ada
atau menghilang, atau berubah bentuk dan
unsurnya. Hanya pada saat inilah kita mungkin meminta pendapat dari sistem ini
mengenai persoalan-persoalan yang timbul, sewaktu pelaksanaannya.
Islam adalah satu sistem
kemasyarakatan yang lengkap, yang segi-seginya saling berjalinan dan
saling mendukung. Sistem ini berbeza
wataknya, gagasannya tentang kehidupan dan cara-
cara pelaksanaannya dari sistem-sistem Barat,
dan dari sistem yang kita pakai
sekarang ini. Perbezaan ini adalah perbezaan
pokok dan menyeluruh. Sudah pasti bahawa
sistem Islam itu tidak ikut
serta dalam menimbulkan
persoalan-persoalan yang terdapat
dalam masyarakat sekarang ini. Persoalan-persoalan itu timbul dari
watak sistem-sistem yang dilaksanakan dalam masyarakat dan timbul kerana
dijauhkannya Islam dari lapangan kehidupan[1].
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup
Abu al-A’la al-Maududi
Abu
al-A’la al-Maududi dilahirkan di Aurangabad (sekarang termasuk daerah India),
pada tanggal 25 September 1903 M. Ayahnya
bernama Ahmad Hasan, seorang pengacara yang pernah belajar Universitas
Aligarh. Maududi adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Pada awalnya ia
memperoleh pendidikan dasar di lingkungan keluarga. Kemudian dia memasuki
madrasah Faqiniyat, suatu sekolah menengah agama menganutsistem
memadukan antara sistem pendidikan modern dan tradisional. Setelah tamat dari
madrasah ini ia melanjutkan studinya jenjang pendidikan tinggi di Dar al-Ulum
di Hyderabad[2].
Pada
1919 ayahnya meninggal dunia, dan oleh karenanya ia terpaksa meninggalkan
bangku kuliahnya. Keadaan ini mendorong Maududi menempuh jalan autodidak.
Ditopang oleh kemampuannya berbahasa Arab, Inggris dan Persia, ia mampu
memperdalam pengetahuannya.
Karier
Al-Maududi diawali dari bidang kewartawanan,yakni sejak ia berusia 15 tahun.
Pada 1920, ia diangkat sebagai editor surat kabar berbahasa Urdu, Taj, yang
terbit di jabalpore. Karena prestasinya, setahun berikutnya ia diangkat menjadi
pemimpin editor di dua surat kabar, yaitu surat kabar Muslim (1921-1923)
dan al-Jam’iyat-i Ulum-i Hind (1921-1928). Al-Maududi berhasil
menjadikan surat kabar al-Jam-iyat-i sebagai surat kabar Islam yang cukup
terkenal dan berpengaruh di India pada dekade 1920-an.
Terpanggil
oleh keprihatinan politiknya sebagai masyarakat yang menghendaki negara Islam
yang terpisah dari anak Benua India, maka Maududi mulai mengkonsentrasikan
pemikiran dalam bidang politik. Untuk menopang perjuangannya, pada 1941 ia
membentuk sebuah organisasi soaial-politik yang ketat disiplinnya, yaitu Jama’at-e
Islami. Kriteria penerimaan anggotanya hanya mereka yang sepenuhnya
menerima ideologi Islam sebagai pandangan hidupnya dan berakhlak mulia[3].
Selain
di bidang jurnalistik, politik, dan akademik, Maududi juga bergerak di bidang
dakwah. Setiap aktivitas dalam karier kepemimpinannya diorientasikan untuk
kepentingan dakwah dalam mewujudkan cita-cita Islam sebagai pandangan hidup. Di
samping itu, Maududi terkenal sebagai penulis bidang tafsir, hadis, hukum, dan
sejarah. Di antaranya karyanya yang terkenal adalah al-Jihad fi al-Islam
(1930), Risalah al-Diniyah (1932), dan The Islamic Law and
Constitution (1955).
B. Dasar Pemikiran
Al-Maududi (Tentang Negara Islam)
Konsep
pemerintahan menurut Maududi bertumpu atas konsepnya yang mendasar tentang alam
semesta, al-Hakimiyah al-Ilahiyah, dan kekuasaan dalam bidang
perundang-undangan. Ketiganya ini dirujuk Al-Maududi dari Al-Quran.
ü Konsep alam semesta :
a.
Allah SWT adalah pencipta alam semesta dan pencipta
manusia di alam ini.
b.
Allah adalah pemilik makhluk ini, penguasanya, dan yang
mengurusi segala urusannya.
c.
Kekuasaan yuridiksi dan
kedaulatan hukum tertinggi di alam semesta ini hanya bagi Allah, tidak
mungkin menjadi hak siapapun selain Dia dan tidak ada seorang pun yang memiliki
satu bagian dari pada-Nya.
ü Konsep Al-Hakimiyah al-Ilahiyah:
a.
Tuhan pemelihara alam semesta ini paa hakikatnya adalah
Tuhan pemelihara manusia, dantidak ada jalan lain bagi manusia kecuali patuh
dan tunduk kepada sifat-Nya Yang Maha Esa.
b.
Hak untuk menghakimi dan mengadili tidak dimiliki oleh
siapapun kecuali Allah.
c.
Hanya Allah sendiri yang memiliki hak mengeluarkan hukum,
sebab Dialah satu-satunya pencipta[4].
d.
Hanya Allah sendiri yang memiliki hak mengeluarkan
peraturan-peraturan, sebab Dialah satu-satunya pemilik.
e.
Hukum Allah adalah sesuatu yang hak, sebab hanya Dia
sendiri yang mengetahui hakikat segala sesuatu, di tangan-Nyalah penentuan
hidayah yang benar dan penentuan jalan yang sesat dan lurus.
ü Konsep Kekuasaan Allah di Bidang Perundang-undangan:
Konsep kekuasaan Allah di bidang perundang-undangan
menurut Maududi adalah bahwa ketentuan membuat undang-undang harus hanya kepada
Allah semata-mata dan umat Islam wajib mengikuti undang-undang-Nya serta haram
atas seseorang meninggalkan peraturan ini dan mengikuti undang-undang buatan
manusia lainnya, perundang-undangan yang dibuatnya sendiri, atau kecenderungan hawa nafsu.
Di
samping itu, kalau dilihat dari sejarah, khitah seorang Rasul menurut Maududi
ialah menyiarkan Islam, menyebarkan petunjuk Allah SWT dan menegakkan kalimah
Allah di dunia ini. Semua Rasul yang diutus Allah, mulai dari Nabi Adam as.
sampai Nabi Muhammad SAW, mempunyai tugasyang sama, yaitu mengajarkan Islam
kepada umatnya dan menghimbau mereka untuk mengakui kedaulatan mutlak Tuhan
serta berserah diri kepada-Nya.
Selanjutnya,
Maududi mengungkapkan bahwa manusia modern telah dibelenggu oleh perbudakan
atau dominasi manusia. Ini terjadi hampir di seluruh dunia, baik di Rusia,
Amerika,Yugoslavia, Cina, ataupun Inggris. Mereka berada di bawah bayangan satu
partai, seorang pemimpim atau seorang
Plutokrat sedemikian rupa sehingga pada hakikatnya konntrol manusia atas manusia. Penyembahan manusia
atas manusia, tetap saja berlangsung tanpa mengalami perubahan yang berarti.
Bahkan kita saat ini menyaksikan suatu
bangsa yang mendominasi bangsa lain.
Al-Maududi
menegaskan bahwa semua urusan umat Islam harus dilaksanakan dengan musyawarah
bersama (syura)di kalangan kaum muslimin. Prinsip ini mendapat landasan yang
kuat dalam Al-Quran, diantaranya adalah “Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
rezeki yang kami berikan kepada mereka.” (QS. al-Syura, 42: 38).
Ayat-ayat
di atas walaupun tidak menetapkan bentuk lembaga konsultasi, yang jelas menurut
pemikiran Maududi, umat Islam harus menerapkannya dengan merujuk kepada situasi
dan kondisi yang saat itu ada dan dengan jujur berupaya memahami jiwa
prinsip-prinsip serta rincian prinsip tersebut sebagaimana ditafsirkan dalam
kerangka kondisi pada saat itu.
Dalam
menjelaskan siapa yang berhak ikut dalam badan permusyawaratan tersebut,
Al-Maududi mencoba menerangkannya dengan merujuk pada perkembangan alamiah para
sahabat Nabi. Dalam hal ini pertimbangan yang diajukan Maududi dibagi menjadi
dua hal, yaitu[5]:
a) Orang-orang yang mempunyai dedikasi dan
loyalitas dan mencurahkan seluruh hidupnya untuk perjuangan Islam, sehingga
dengan demikian orang-orang yang semacam ini dikenal oleh masyarakat Islam
secara luas.
b) Orang-orangyang terkemuka karena wawasan serta
kemampuan mereka dalam memahami ajaran Islam. Orang-orang seperti ini merupakan
hasil seleksi alamiah dari komunitas
Islam dan mendapat kepercyaan dari mereka.
C. Tujuan Negara
Menurut
al-Maududi, tujuan dibentuknya negara Islam adalah tidak lain untuk menegakkan
syariat Allah. Negara juga bertujuan untuk menuntun masyarakat muslim untuk
menjalankan apa yang telah diperintahkan Allah dalam syariatnya. Dengan
menjalankan syariatnya, maka menurutnya akan tercipta masyarakat Islam yang
harmonis dan maju, serta tidak keluar dari koridor yang telah ditetapkan oleh
Allah[6].
Negara Islam adalah negara yang mempunyai
sistem tersendiri yang pada hakikatnya berbeda dengan negara sekuler, baik
menyangkut sifat atau karakteristik maupun tujuannya. Menurut Al-Mududi, Islam
merupakan antiteis dari demokrasi Barat, karena landasan filosofi demokrasi
Barat adalah kedaulatan rakyat sehingga dalam penentuan nilai-nilai dan norma
pelaku sepenuhnya berada di tangan rakyat. Al-Maududi mengkritik demokrasi
Barat, yang menurutnya mempunyai beberapa kelemahan mendasar. Pertama,
kelompok penguasa bisa saja bertindak atas nama rakyat meskipun sebagian
pikiran dan tenaga yang dikerahkannya bukan untuk rakyat, tetapi untuk
melestarikan kekuasaan yang mereka pegang.
Kedua,
jika kekuasaan mutlak untuk membuat legislasi berada di tangan pembuat hukum (law
maker) harus sesuai dengan selera dan opini rakyat tidak mustahil suatu
ketika tindakan-tindakan yang tidak manusiawi menjadi legal sepenuhnya bila
opini publik menuntutnya. Bila sebuah legislasi dikehendaki oleh mayoritas
rakyat, meskipun bertentangan dengan ajaran moral dan agama, maka legislasi itu
harus berjalan. Sebaliknya, suatu legislasi lain betapa pun benar dan adil
dapat dibatalkan jika rakyat menghendakinya.
Islam
memberikan kedaulatan terbatas kepada rakyat. Rakyat tidak dapat dan tidak
boleh menggunakan kedaulatannya itu dengan semaunya, sebab ada
peraturan-peraturan, norma-norma, dan nilai-nilai yang harus dipatuhi. Bahkan
norma-norma dan nilai-nilai itu harus menjadi paradigma program-program sosial,
politik, dan ekonomi yang ditentukan oleh rakyat lewat para wakilnya.
Badan
eksekutif dalam pemerintahan ini, menurut Al-Maududi adalah dibentuk berdasrkan
kehendak umum kaum muslimin yang juga berhak untuk menumbangkannya. Semua
masalah pemerintahan dan masalah yang tidak diatur secara jelas dalam syariah
diselesaikan antara kaum muslimin[7].
Dari sudut ini terlihat negara Islam itu adalah demokrasi, tetapi ia juga
negara teokrasi dimana terdapat pemerintah secara eksplisit dari Tuhan maupun
Rasul yang tidak seorang pun baik pemimpin Islam, ulama atau undang-undang
dapat membuat penilaian yang independen.
Selanjutnya Al-Maududi menjelaskan bahwa negara Islam
bersifat universal, tidak membatasi ruang lingkup kegiatannya. Sifat
universal itulah yang membuat ruang lingkup dari kekuasaan negara Islam tidak
terbatas pada teritorial wilayah. Negara bangsa yang mendasarkan dirinya pada
rasa keterikatan berdasarkan wilayah, suku atau tradisi tidak dikenal dalam
Islam. Negara Islam dalam hal ini mendasarkan dirinya pada rasa keterikatan
ideologis, yaitu ideologi Islam. Dengan kata lain, di manapun itu, selama dia
beragama Islam, maka dia termasuk warga negara Islam[8].
Berdasarkan prinsip inilah,
menurut penulis Al-Maududi membagi golongan Islam yang ada dalam negara Islam
menjadidua golongan, yaitu ; muslim dan nonmuslim. Namun di sisi lain, Maududi
menekankan bahwa pembagian ini bukan berarti mengurangi hak nonmuslim
untukmenikmati kehidupan mereka. Negara Islam tetap memberikan jaminan perlindungan, kehidupan
nafkah dan kekayaan, serta jaminan kebudayaan, keimanan dan martabat warga
nonmuslim.
Selanjutnya, Maududi
menjelaskan bahwa negara Islam mempunyai tujuan yang akan dicapai demi untuk
terjaminnya masyarkat Islam sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Quran, yaitu
;
1.
Untuk mengelakkan terjadinya eksploitasi antar
manusia, antar-kelompok atau antar-kelas dalam masyarakat.
2.
Untuk memelihara kebebasan (ekonomi, politik,
pendidikan dan agama) para warga dan melindungi seluruh warga Negara dari
invasi asing.
3.
Untuk menegakkan system keadilan social yang seimbang
sebagaimana dihendaki dalam al-Qur’an.
4.
Untuk memberantas setiap kejahatan (munkarat)
dan mendorong setiap kebajikan yang dengan tegas telah digariskan pula oleh
al-Qur’an.
5.
Menjadikan Negara itu sebagai tempat tinggal yang
teduh dan mengayomi bagi setiap warga Negara dengan jalan pemberlakuan hukum
tanpa diskriminasi[9].
D.
SISTEM KEKUASAAN POLITIK MENURUT AL-MAUDUDI
Al-Maududi
mengharuskan adanya lembaga yang akan berfungsi sebagai pengukur dan pemutus
perkara yang harus selalu tetap berpedoman kepada kitab Allah dan Sunah Rasul
secara ketat. Selanjutnya, Al-Maududi mengemukakan tiga lembaga penting yang
rakyat harus memberikan ketaatan terhadap negara melalui peraturan-peraturan
yang dikeluarkan oleh ketiga lembaga tersebut, yaitu lembaga legislatif, eksekutif,
dan yudikatif[10].
Lembaga Legislatif
Menurut
Al-Maududi, lembaga legislatif adalah lembaga yang berdasarkan terminologi fiqh
disebut dengan lembaga penegah dan pemberi fatwa atau sama dengan Ahl
al-Halli wa al-‘Aqd. Dalam menformulasikan hukum, lembaga ini harus
dibatasi dengan batasan-batasan Allah dan Rasul-Nya dan tidak boleh bertolak
belakang dengan legislasi yang ditetapkan Allah dan Rasul walaupun konsensus
rakyat menghendakinya.
Selanjutnya, lembaga ini menurut
Maududi mempunyai tugas-tugas :
a.
Jika terdapat
petunjuk-petunjuk Allah dan Nabi-Nya yang eksplisit, maka lembaga inilah yang
berkompeten menjabarkan dan memuat peraturan-peraturannya.
b.
Bila terdapat
kemungkinan beberapa penafsiran terhadap petunjuk-petunjuk eksplisit itu.
c.
Jika tidak ada
ketentuan dalam Al-Quran dan Hadis.
d.
Jika tidak ada
ketentuan dari sumber-sumber di atas.
Lembaga Eksekutif
Tujuan
lembaga ini adalah untuk menegakkan pedoman-pedoman serta menyiapkan masyarakat
agar menyakini dan mengatur pedoman-pedoman ini untuk diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam Al-Quran, terminologi uli al-amr pada
dasarnya menunjukkan lembaga ini dan kaum muslimin diperintahkan untuk patuh
kepadanya.
Lembaga Yudikatif
Dalam terminologi Islam, lembaga
yudikatif sama dengan lembaga peradilan atau qadha. Lembaga ini berfungsi
sebagai penegak hukum Ilahi, menyelesaikan, dan memutuskan dengan adil perkara
yang terjadi di antara warganya. Lembaga ini bersifat bebas dan terlepas dari
segala campur tangan, tekanan atau pengaruh, sehingga lembaga ini dapat membuat
keputusan yang sesuai dengan konstitusi tanpa dihalangi oleh rasa takut.
Mengenai
bagaimana hubungan antara lembaga eksekutif,dan lembaga legislatif, Maududi
menyatakan bahwa kedua lembaga tersebut berfungsi secara terpisah dan mandiri
satu dengan yang lain. Lembaga legislatif atau Ahl al-Halli wa al’Aqd berfungsi
sebagai badan penasihat kepala negara yang menyangkut dalam berbagai hal. Di
samping itu, kepala negara harus mengadakan konsultasi atau bermusyawarah
dengan lembaga legislatif. Namun dalam berbagai hal kepala negara boleh
menerima atau menolak suara mayoritas dan mengambil pendapatnya sendiri sesuai
dengan pertimbangannya. Di sini kepala negara menurut Maududi mempunyai hak
veto.
Namun
yang sangat disayangan adalah ketidak jelasan konsep Al-Maududi tentang siapa
yang mengangkat dan menunjuk kepala negara dan anggota majelis syura apabila
mereka telah terpilih, dan bagaimana pula kalau seandainya masyarakat muslim
mencopot jabatannya dengan cara bagaimana dan lembaga mana yang akan
melakukannya?
Al-Maududi
menyerahkan urusan tersebut kepadaa umat Islam untuk menempuh jalan yang mereka
anggap terbaik untuk situasi dan kondisi mereka. Menurutnya, Islam tidak mencontohkan cara tertentu untuk itu.
Al-Maududi seolah-olah kembali pasrah dengan situasi politik yang berkembang
dengan tidak memberikan tuntunan ke arah penyelesaian masalah. Hal ini
juga menjadi tradisi politik Islam dari
beberapa aliran, termasuk kalangan Sunni. Ahmad Syafi’i Maarif mengomentari
masalah ini dengan menyatakan, “Sekalipun para yuris Sunni dengan gigih
mempertahankan teori pemilihan, mekanismenya tetap tidak jelas”.
[1] http://wahanakreasi4.blogspot.com/2010/12/v-behaviorurldefaultvmlo.html (di akses pada tgl 22-04-15, jam 13.00)
[2] Muhammad Iqbal dan Amin husein Nasution, Pemikiran
Politik Islam ; Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta :
Kencana, 2003), hal.,172.
[6] https://amrizalulya.wordpress.com/2012/05/16/pemikiran-al-maududi/ (diakses pada tgl 22-04-15,jam 13.00)
No comments:
Post a Comment