Thursday 7 May 2015

PEMIKIRAN POLITIK :“ABU AL-A’LA AL-MAUDUDI”




PENDAHULUAN

          Robohnya khilafah Islamiyah di Turki pada tahun 1924 benar-benar menjadi pukulan sangat telak pada eksistensi ummat Islam. Khalifah Islam di Turki yang merupakan jangkar terakhir kekuatan dan simbol ummat, telah diobok-obok oleh Kamal At-Taturk, bapak sekularisme Turki yang tak lain adalah antek Barat yang dipasang di jantung pusat kekuatan Islam.
          Lenyapnya kekuasaan penyatu ummat ini menimbulkan kegamangan yang sangat dalam di tubuh ummat yang tak lagi memiliki garis komando tunggal. Sebab, telah dicabik-cabik dalam negara-negara kecil dengan kepentingan sangat beragam, sehingga mudah disulut dan dibakar. Dari rasa kegamangan inilah muncul "kerinduan" menggebu dalam dada ummat untuk melahirkan kembali Islam sebagai kekuatan dan sekaligus sebagai penyelamat dunia. Usaha-usaha ini dilakukan dengan cara pembentukan gerakan-gerakan Islam.
          Dalam kehidupan berbangsa hendaknya setiap dari pada penduduknya harus mengetahui tentang suatu konsep yang berkenaan dengan Negara tersebut. Setiap  sistem  mempunyai  falsafah  dan  gagasannya  atau  rancangannya  tentang  kehidupan. Setiap  sistem  mempunyai  masalah-masalah  yang  timbul  dari  penerapannya  dan  mempunyai persoalan-persoalan  yang  sesuai  dengan  watak  dan  pengaruhnya  di  alam nyata.  Demikian  pula setiap  sistem  mempunyai  penyelesaian-penyelesaian  untuk  menghadapi  persoalan  dan  masalah yang timbul dari watak dan kaedahnya.
          Fikiran   logik   yang   sesungguhnya   akan   berpendapat : Siapa   yang   bermaksud meminta pendapat  dari  suatu  sistem  tertentu  dalam  menyelesaikan  masalah-masalah  kehidupan,  maka sistem ini harus dilaksanakan terlebih dahulu dalam kenyataan hidup. Lalu setelah itu baru dilihat apakah  masalah-masalah  itu  masih  ada  atau  menghilang,  atau  berubah  bentuk  dan  unsurnya. Hanya pada saat inilah kita mungkin meminta pendapat dari sistem ini mengenai persoalan-persoalan yang timbul, sewaktu pelaksanaannya.
          Islam adalah satu sistem kemasyarakatan yang lengkap, yang segi-seginya saling berjalinan dan  saling  mendukung.  Sistem  ini  berbeza  wataknya,  gagasannya  tentang  kehidupan  dan  cara- cara  pelaksanaannya  dari  sistem-sistem  Barat,  dan  dari  sistem  yang  kita  pakai  sekarang  ini. Perbezaan  ini  adalah  perbezaan  pokok  dan  menyeluruh.  Sudah  pasti  bahawa  sistem  Islam  itu tidak   ikut   serta   dalam   menimbulkan   persoalan-persoalan   yang   terdapat   dalam   masyarakat sekarang ini. Persoalan-persoalan itu timbul dari watak sistem-sistem yang dilaksanakan dalam masyarakat dan timbul kerana dijauhkannya Islam dari lapangan kehidupan[1].









PEMBAHASAN

A.      Riwayat Hidup Abu al-A’la al-Maududi
          Abu al-A’la al-Maududi dilahirkan di Aurangabad (sekarang termasuk daerah India), pada tanggal 25 September 1903 M. Ayahnya  bernama Ahmad Hasan, seorang pengacara yang pernah belajar Universitas Aligarh. Maududi adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Pada awalnya ia memperoleh pendidikan dasar di lingkungan keluarga. Kemudian dia memasuki madrasah Faqiniyat, suatu sekolah menengah agama menganutsistem memadukan antara sistem pendidikan modern dan tradisional. Setelah tamat dari madrasah ini ia melanjutkan studinya jenjang pendidikan tinggi di Dar al-Ulum di Hyderabad[2].
          Pada 1919 ayahnya meninggal dunia, dan oleh karenanya ia terpaksa meninggalkan bangku kuliahnya. Keadaan ini mendorong Maududi menempuh jalan autodidak. Ditopang oleh kemampuannya berbahasa Arab, Inggris dan Persia, ia mampu memperdalam pengetahuannya.
          Karier Al-Maududi diawali dari bidang kewartawanan,yakni sejak ia berusia 15 tahun. Pada 1920, ia diangkat sebagai editor surat kabar berbahasa Urdu, Taj, yang terbit di jabalpore. Karena prestasinya, setahun berikutnya ia diangkat menjadi pemimpin editor di dua surat kabar, yaitu surat kabar Muslim (1921-1923) dan al-Jam’iyat-i Ulum-i Hind (1921-1928). Al-Maududi berhasil menjadikan surat kabar al-Jam-iyat-i sebagai surat kabar Islam yang cukup terkenal dan berpengaruh di India pada dekade 1920-an.
          Terpanggil oleh keprihatinan politiknya sebagai masyarakat yang menghendaki negara Islam yang terpisah dari anak Benua India, maka Maududi mulai mengkonsentrasikan pemikiran dalam bidang politik. Untuk menopang perjuangannya, pada 1941 ia membentuk sebuah organisasi soaial-politik yang ketat disiplinnya, yaitu Jama’at-e Islami. Kriteria penerimaan anggotanya hanya mereka yang sepenuhnya menerima ideologi Islam sebagai pandangan hidupnya dan berakhlak mulia[3].
          Selain di bidang jurnalistik, politik, dan akademik, Maududi juga bergerak di bidang dakwah. Setiap aktivitas dalam karier kepemimpinannya diorientasikan untuk kepentingan dakwah dalam mewujudkan cita-cita Islam sebagai pandangan hidup. Di samping itu, Maududi terkenal sebagai penulis bidang tafsir, hadis, hukum, dan sejarah. Di antaranya karyanya yang terkenal adalah al-Jihad fi al-Islam (1930), Risalah al-Diniyah (1932), dan The Islamic Law and Constitution (1955).

B.       Dasar Pemikiran Al-Maududi (Tentang Negara Islam)
          Konsep pemerintahan menurut Maududi bertumpu atas konsepnya yang mendasar tentang alam semesta, al-Hakimiyah al-Ilahiyah, dan kekuasaan dalam bidang perundang-undangan. Ketiganya ini dirujuk Al-Maududi dari Al-Quran.
ü  Konsep alam semesta :
a.         Allah SWT adalah pencipta alam semesta dan pencipta manusia di alam ini.
b.         Allah adalah pemilik makhluk ini, penguasanya, dan yang mengurusi segala urusannya.
c.         Kekuasaan yuridiksi dan  kedaulatan hukum tertinggi di alam semesta ini hanya bagi Allah, tidak mungkin menjadi hak siapapun selain Dia dan tidak ada seorang pun yang memiliki satu bagian dari pada-Nya.

ü  Konsep Al-Hakimiyah al-Ilahiyah:
a.         Tuhan pemelihara alam semesta ini paa hakikatnya adalah Tuhan pemelihara manusia, dantidak ada jalan lain bagi manusia kecuali patuh dan tunduk kepada sifat-Nya Yang Maha Esa.
b.         Hak untuk menghakimi dan mengadili tidak dimiliki oleh siapapun kecuali Allah.
c.         Hanya Allah sendiri yang memiliki hak mengeluarkan hukum, sebab Dialah satu-satunya pencipta[4].
d.        Hanya Allah sendiri yang memiliki hak mengeluarkan peraturan-peraturan, sebab Dialah satu-satunya pemilik.
e.         Hukum Allah adalah sesuatu yang hak, sebab hanya Dia sendiri yang mengetahui hakikat segala sesuatu, di tangan-Nyalah penentuan hidayah yang benar dan penentuan jalan yang sesat dan lurus.

ü  Konsep Kekuasaan Allah di  Bidang Perundang-undangan:
          Konsep  kekuasaan Allah di bidang perundang-undangan menurut Maududi adalah bahwa ketentuan membuat undang-undang harus hanya kepada Allah semata-mata dan umat Islam wajib mengikuti undang-undang-Nya serta haram atas seseorang meninggalkan peraturan ini dan mengikuti undang-undang buatan manusia lainnya, perundang-undangan yang dibuatnya sendiri,  atau kecenderungan hawa nafsu.
          Di samping itu, kalau dilihat dari sejarah, khitah seorang Rasul menurut Maududi ialah menyiarkan Islam, menyebarkan petunjuk Allah SWT dan menegakkan kalimah Allah di dunia ini. Semua Rasul yang diutus Allah, mulai dari Nabi Adam as. sampai Nabi Muhammad SAW, mempunyai tugasyang sama, yaitu mengajarkan Islam kepada umatnya dan menghimbau mereka untuk mengakui kedaulatan mutlak Tuhan serta berserah diri kepada-Nya.
          Selanjutnya, Maududi mengungkapkan bahwa manusia modern telah dibelenggu oleh perbudakan atau dominasi manusia. Ini terjadi hampir di seluruh dunia, baik di Rusia, Amerika,Yugoslavia, Cina, ataupun Inggris. Mereka berada di bawah bayangan satu partai, seorang pemimpim atau  seorang Plutokrat sedemikian rupa sehingga pada hakikatnya konntrol  manusia atas manusia. Penyembahan manusia atas manusia, tetap saja berlangsung tanpa mengalami perubahan yang berarti. Bahkan kita saat  ini menyaksikan suatu bangsa yang mendominasi bangsa lain.
          Al-Maududi menegaskan bahwa semua urusan umat Islam harus dilaksanakan dengan musyawarah bersama (syura)di kalangan kaum muslimin. Prinsip ini mendapat landasan yang kuat dalam Al-Quran, diantaranya adalah “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka.” (QS. al-Syura, 42: 38).
          Ayat-ayat di atas walaupun tidak menetapkan bentuk lembaga konsultasi, yang jelas menurut pemikiran Maududi, umat Islam harus menerapkannya dengan merujuk kepada situasi dan kondisi yang saat itu ada dan dengan jujur berupaya memahami jiwa prinsip-prinsip serta rincian prinsip tersebut sebagaimana ditafsirkan dalam kerangka kondisi pada saat itu.
          Dalam menjelaskan siapa yang berhak ikut dalam badan permusyawaratan tersebut, Al-Maududi mencoba menerangkannya dengan merujuk pada perkembangan alamiah para sahabat Nabi. Dalam hal ini pertimbangan yang diajukan Maududi dibagi menjadi dua hal, yaitu[5]:
a)      Orang-orang yang mempunyai dedikasi dan loyalitas dan mencurahkan seluruh hidupnya untuk perjuangan Islam, sehingga dengan demikian orang-orang yang semacam ini dikenal oleh masyarakat Islam secara luas.
b)      Orang-orangyang terkemuka karena wawasan serta kemampuan mereka dalam memahami ajaran Islam. Orang-orang seperti ini merupakan hasil  seleksi alamiah dari komunitas Islam dan mendapat kepercyaan dari mereka.

C.      Tujuan Negara

          Menurut al-Maududi, tujuan dibentuknya negara Islam adalah tidak lain untuk menegakkan syariat Allah. Negara juga bertujuan untuk menuntun masyarakat muslim untuk menjalankan apa yang telah diperintahkan Allah dalam syariatnya. Dengan menjalankan syariatnya, maka menurutnya akan tercipta masyarakat Islam yang harmonis dan maju, serta tidak keluar dari koridor yang telah ditetapkan oleh Allah[6].
          Negara Islam adalah negara yang mempunyai sistem tersendiri yang pada hakikatnya berbeda dengan negara sekuler, baik menyangkut sifat atau karakteristik maupun tujuannya. Menurut Al-Mududi, Islam merupakan antiteis dari demokrasi Barat, karena landasan filosofi demokrasi Barat adalah kedaulatan rakyat sehingga dalam penentuan nilai-nilai dan norma pelaku sepenuhnya berada di tangan rakyat. Al-Maududi mengkritik demokrasi Barat, yang menurutnya mempunyai beberapa kelemahan mendasar. Pertama, kelompok penguasa bisa saja bertindak atas nama rakyat meskipun sebagian pikiran dan tenaga yang dikerahkannya bukan untuk rakyat, tetapi untuk melestarikan kekuasaan yang mereka pegang.
          Kedua, jika kekuasaan mutlak untuk membuat legislasi berada di tangan pembuat hukum (law maker) harus sesuai dengan selera dan opini rakyat tidak mustahil suatu ketika tindakan-tindakan yang tidak manusiawi menjadi legal sepenuhnya bila opini publik menuntutnya. Bila sebuah legislasi dikehendaki oleh mayoritas rakyat, meskipun bertentangan dengan ajaran moral dan agama, maka legislasi itu harus berjalan. Sebaliknya, suatu legislasi lain betapa pun benar dan adil dapat dibatalkan jika rakyat menghendakinya.
          Islam memberikan kedaulatan terbatas kepada rakyat. Rakyat tidak dapat dan tidak boleh menggunakan kedaulatannya itu dengan semaunya, sebab ada peraturan-peraturan, norma-norma, dan nilai-nilai yang harus dipatuhi. Bahkan norma-norma dan nilai-nilai itu harus menjadi paradigma program-program sosial, politik, dan ekonomi yang ditentukan oleh rakyat lewat para wakilnya.
          Badan eksekutif dalam pemerintahan ini, menurut Al-Maududi adalah dibentuk berdasrkan kehendak umum kaum muslimin yang juga berhak untuk menumbangkannya. Semua masalah pemerintahan dan masalah yang tidak diatur secara jelas dalam syariah diselesaikan antara kaum muslimin[7]. Dari sudut ini terlihat negara Islam itu adalah demokrasi, tetapi ia juga negara teokrasi dimana terdapat pemerintah secara eksplisit dari Tuhan maupun Rasul yang tidak seorang pun baik pemimpin Islam, ulama atau undang-undang dapat membuat penilaian yang independen.
          Selanjutnya  Al-Maududi menjelaskan bahwa negara Islam bersifat universal, tidak membatasi ruang lingkup kegiatannya. Sifat universal itulah yang membuat ruang lingkup dari kekuasaan negara Islam tidak terbatas pada teritorial wilayah. Negara bangsa yang mendasarkan dirinya pada rasa keterikatan berdasarkan wilayah, suku atau tradisi tidak dikenal dalam Islam. Negara Islam dalam hal ini mendasarkan dirinya pada rasa keterikatan ideologis, yaitu ideologi Islam. Dengan kata lain, di manapun itu, selama dia beragama Islam, maka dia termasuk warga negara Islam[8].
          Berdasarkan prinsip inilah, menurut penulis Al-Maududi membagi golongan Islam yang ada dalam negara Islam menjadidua golongan, yaitu ; muslim dan nonmuslim. Namun di sisi lain, Maududi menekankan bahwa pembagian ini bukan berarti mengurangi hak nonmuslim untukmenikmati kehidupan mereka. Negara Islam tetap  memberikan jaminan perlindungan, kehidupan nafkah dan kekayaan, serta jaminan kebudayaan, keimanan dan martabat warga nonmuslim.
          Selanjutnya, Maududi menjelaskan bahwa negara Islam mempunyai tujuan yang akan dicapai demi untuk terjaminnya masyarkat Islam sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Quran, yaitu ;
1.      Untuk mengelakkan terjadinya eksploitasi antar manusia, antar-kelompok atau antar-kelas dalam masyarakat.
2.      Untuk memelihara kebebasan (ekonomi, politik, pendidikan dan agama) para warga dan melindungi seluruh warga Negara dari invasi asing.
3.      Untuk menegakkan system keadilan social yang seimbang sebagaimana dihendaki dalam al-Qur’an.
4.      Untuk memberantas setiap kejahatan (munkarat) dan mendorong setiap kebajikan yang dengan tegas telah digariskan pula oleh al-Qur’an.
5.      Menjadikan Negara itu sebagai tempat tinggal yang teduh dan mengayomi bagi setiap warga Negara dengan jalan pemberlakuan hukum tanpa diskriminasi[9].


D.      SISTEM KEKUASAAN POLITIK MENURUT AL-MAUDUDI

          Al-Maududi mengharuskan adanya lembaga yang akan berfungsi sebagai pengukur dan pemutus perkara yang harus selalu tetap berpedoman kepada kitab Allah dan Sunah Rasul secara ketat. Selanjutnya, Al-Maududi mengemukakan tiga lembaga penting yang rakyat harus memberikan ketaatan terhadap negara melalui peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh ketiga lembaga tersebut, yaitu lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif[10].

Lembaga Legislatif

          Menurut Al-Maududi, lembaga legislatif adalah lembaga yang berdasarkan terminologi fiqh disebut dengan lembaga penegah dan pemberi fatwa atau sama dengan Ahl al-Halli wa al-‘Aqd. Dalam menformulasikan hukum, lembaga ini harus dibatasi dengan batasan-batasan Allah dan Rasul-Nya dan tidak boleh bertolak belakang dengan legislasi yang ditetapkan Allah dan Rasul walaupun konsensus rakyat menghendakinya.
Selanjutnya, lembaga ini menurut Maududi mempunyai tugas-tugas :
a.       Jika terdapat petunjuk-petunjuk Allah dan Nabi-Nya yang eksplisit, maka lembaga inilah yang berkompeten menjabarkan dan memuat peraturan-peraturannya.
b.      Bila terdapat kemungkinan beberapa penafsiran terhadap petunjuk-petunjuk eksplisit itu.
c.       Jika tidak ada ketentuan dalam Al-Quran dan Hadis.
d.      Jika tidak ada ketentuan dari sumber-sumber di atas.

Lembaga Eksekutif

          Tujuan lembaga ini adalah untuk menegakkan pedoman-pedoman serta menyiapkan masyarakat agar menyakini dan mengatur pedoman-pedoman ini untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Al-Quran, terminologi uli al-amr pada dasarnya menunjukkan lembaga ini dan kaum muslimin diperintahkan untuk patuh kepadanya.

Lembaga Yudikatif

Dalam terminologi Islam, lembaga yudikatif sama dengan lembaga peradilan atau qadha. Lembaga ini berfungsi sebagai penegak hukum Ilahi, menyelesaikan, dan memutuskan dengan adil perkara yang terjadi di antara warganya. Lembaga ini bersifat bebas dan terlepas dari segala campur tangan, tekanan atau pengaruh, sehingga lembaga ini dapat membuat keputusan yang sesuai dengan konstitusi tanpa dihalangi oleh rasa takut.
          Mengenai bagaimana hubungan antara lembaga eksekutif,dan lembaga legislatif, Maududi menyatakan bahwa kedua lembaga tersebut berfungsi secara terpisah dan mandiri satu dengan yang lain. Lembaga legislatif atau Ahl al-Halli wa al’Aqd berfungsi sebagai badan penasihat kepala negara yang menyangkut dalam berbagai hal. Di samping itu, kepala negara harus mengadakan konsultasi atau bermusyawarah dengan lembaga legislatif. Namun dalam berbagai hal kepala negara boleh menerima atau menolak suara mayoritas dan mengambil pendapatnya sendiri sesuai dengan pertimbangannya. Di sini kepala negara menurut Maududi mempunyai hak veto.
          Namun yang sangat disayangan adalah ketidak jelasan konsep Al-Maududi tentang siapa yang mengangkat dan menunjuk kepala negara dan anggota majelis syura apabila mereka telah terpilih, dan bagaimana pula kalau seandainya masyarakat muslim mencopot jabatannya dengan cara bagaimana dan lembaga mana yang akan melakukannya?
          Al-Maududi menyerahkan urusan tersebut kepadaa umat Islam untuk menempuh jalan yang mereka anggap terbaik untuk situasi dan kondisi mereka. Menurutnya, Islam tidak  mencontohkan cara tertentu untuk itu. Al-Maududi seolah-olah kembali pasrah dengan situasi politik yang berkembang dengan tidak memberikan tuntunan ke arah penyelesaian masalah. Hal ini juga  menjadi tradisi politik Islam dari beberapa aliran, termasuk kalangan Sunni. Ahmad Syafi’i Maarif mengomentari masalah ini dengan menyatakan, “Sekalipun para yuris Sunni dengan gigih mempertahankan teori pemilihan, mekanismenya tetap tidak jelas”.


[2] Muhammad Iqbal dan Amin husein Nasution, Pemikiran Politik Islam ; Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta : Kencana, 2003), hal.,172.
[3] Ibid.,hal., 173.
[4] Ibid.,hal., 175.
[5] Ibid., hal.178-179.
[7] Din Syamsuddin, Islam Dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta : Logos, 2001), hal.,141.
[8] Ibid.,
[9] Muhammad Iqbal dan Amin husein Nasution, Op Cit.,hal.183.
[10] Ibid., 184-185.

No comments:

Post a Comment