Friday 15 May 2015

PENGADILAN AGAMA DI ERA EKONOMI SYARIAH



A.       LATAR BELAKANG
          Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) sebagai ilmu yang mempelajari usaha manusia untuk mengalokasikan dan mengelola sumber daya untuk mencapai falah (kemuliaan dan kesuksesan) dalam hidup berdasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW tidak muncul dari ruang hampa. Ekonomi Syariah tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan sejarah ummat Islam di sepanjang zaman. Meskipun Ekonomi Syariah sebagai ilmu baru muncul pada tahun 1970-an namun pemikiran ekonomi Syariah dan praktek ekonomi Syariah telah ada sejak Islam diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW pada abad akhir 6 M hingga awal abad 7 M.
          Di Indonesia sendiri pemikiran ekonomi syariah dan praktek ekonomi syariah secara kelembagaan dapat dilacak dari perkembangan bank syariah. Bank Syariah di Indonesia mendapatkan pijakan yang kokoh setelah ada deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983. Hal ini disebabkan karena sejak saat itu diberikan keleluasaan penentuan tingkat suku bunga termasuk nol persen (peniadaan bunga). Kemudian posisi perbankan Syariah semakin pasti setelah disahkan Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992, bank diberikan kebebasan untuk menentukan jenis imbalan yang akan diambil dari nasabahnya baik bunga maupun keuntungan bagi hasil.[1]

          Kemudian terbit Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang bank bagi hasil yang secara tegas memberikan batasan bahwa bank bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (bunga) sebaliknya bank yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. Dengan munculnya PP No. 72 Tahun 1992 tersebut maka jalan operasioanal perbankan Syari'ah semakin luas dan terang.[2] Perkembangan bank Syariah mencapai titik kulminasinya dengan disahkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang membuka kesempatan bagi siapa saja yang akan mendirikan bank Syariah maupun yang akan mengkonversi dari sistem konvensional menjadi system Syariah.
          Saat ini telah banyak berdiri bank Syariah seperti BNI Syariah, Bank Syariah Mandiri, Bank Muamalat Indonesia, dan sebagainya. Bank Syariah di Indonesia pertama kali lahir pada tahun 1992 melalui berdirinya Bank Muamalat Indonesia, kemudian memasuki tahun 2002 bank yang melakukan kegiatan operasional bank Syariah menjadi bertambah banyak yaitu Bank IFI, Bank BNI, Bank Mandiri Syari'ah, dan Bank Jabar. Saat ini jumlah bank syariah terus bertambah dan berkembang seiring dengan meningkatnya apresisasi ummat Islam terhadap kehadiran bank syariah di Indonesia.
          Perkembangan pemikiran ekonomi syariah dan praktek ekonomi syariah tidak dapat dipungkiri berpengaruh juga terhadap Peradilan Agama di Indonesia. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, kewenangan Peradilan Agama tidak hannya terbatas pada permasalahan perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah tetapi juga menyangkut masalah zakat, infaq, dan ekonomi syari’ah (Pasal 49). Adanya tiga tambahan kewenangan ini (zakat, infaq, dan ekonomi syari’ah) telah secara signifikan merubah wajah Peradilan Agama di Indonesia yang telah berjalan semenjak sebelum zaman kolonial. Kalau dulu peradilan agama terkesan hannya menangani persoalan hukum keluarga Islam, saat ini wajah peradilan agama tampak lebih mentereng yaitu peradilan hukum keluarga Islam dan peradilan perdata Islam, bahkan belakangan ada ide untuk memakai nama baru sebagai ganti dari Pengadilan Agama (PA) yaitu Pengadilan Negeri Syariah (PNS).

B.       BANK SYARIAH VERSUS BANK KONVENSIONAL

          Masih banyak orang yang bertanya tentang perbedaan bank syariah dan bank konvensional. Diantara mereka bahkan menaruh curiga dengan berkata sinis bahwa perbedaan hanya sebatas nama dari bank konvensional yang diganti dengan bahasa Arab. Banyak yang belum mengetahui atau mempelajari apalagi mendalami, telah berani menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan diantara keduanya. Padahal, apabila kita mempelajari dan mendalami, maka kita akan dapat menyimpulkan berbagai persamaan dan perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional.[3]


Secara umum perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional adalah sebagai berikut[4]:
BANK SYARIAH
BANK KONVENSIONAL
Berdasarkan margin dan keuntungan.
Memakai metode bunga.
Profit & Falah oriented.
Profit oriented.
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan Kemitraaan.
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitor-kriditur.
User of real fuonds.
Creator of money supply.
Investasi hanya pada bidang usaha yang halal.
Tidak membedakan investasi yang halal dan haram.
Tidak membedakan investasi yang halal dan haram.
Tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah.

Sedankan dalam Perbedaan metode bagi hasil dengan metode bunga dapat diuraikan sebagai berikut[5]:
Metode bagi Hasil

Metode bunga

Penentuan besarnya rasio bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung-rugi.
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad tanpa berpedoman pada untung-rugi.
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
Besarnya prosentase berdasarkan jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
Bagi hasil tergantung keuntungan / kerugian proyek yang dijalankan.
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan untung atau rugi.
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang booming.
Tidak ada yang meragukan keabsahan metode bagi hasil.
Eksistensi bunga diragukan oleh semua agama, termasuk Islam.

          Perbedaan antara metode bunga dengan metode bagi hasil terlihat juga jika keduanya dihubungkan dengan inflasi. Metode bunga sering dianggap memberikan perlindungan pada nasabah kriditur terhadap inflasi dengan cara menyesuaikan nilai uang dengan tingkat harga. Namun kenyataannya perubahan harga tidak selalu mencerminkan perubahan suku bunga.
          Sebaliknya, dalam metode bagi hasil, inflasi yang biasanya menguntunghkan para pengusaha(debitor) otomatis akan menambanh pendapatan bagi hasil nasabah penyimpan dana. Penambhan unag beredar mengakibatkan semakin banyaknya pendapatan para pengusaha (debitor). Dengan penerapan metode bagi hasil, keuntungan yang semakin bertambah itu akan diterima juga oleh bank dan nasabah penyimpan dana sesuai dengan nisbahnya. Nasabah tidak perlu takut terhadap perubahan tingkat inflasi dan suku bunga bank.

C.       KESIMPULAN
          Dari uraian di atas bisa diambil kesimpulan bahwa dalam dunia perbankan saat ini kita mengenal dua sistem yang berlaku, yaitu sistem yang mempergunakan sistem Syariah dan sistem konvensional. Kedua sistem itu betul-betul mempuyai perbedaan dalam banyak hal. Artinya tidak benar bila ada yang menyatakan bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional, hanya nama yang berbeda. Bank syariah mempunyai keunggulan dalam banyak aspek dibandingkan dengan bank konvensional yang jumlahnya saat ini masih jauh lebih banyak dari bank syariah. Perkembangan bank syariah di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya ternyata sangat mengembirakan. Hal ini didorong salah satunya kesadaran umat Islam untuk melakukan kegiatan ekonomi mereka dengan prinsip-prinsip yang sesuiai dengan syariah, termasuk dalam dunia perbankan. Dan saat ini umat Islam telah mulai merasakan kelebihan sistem bank syariah daripada bank konvensional.


           




DAFTAR PUSTAKA

              Muhammad Syafi'i Antonio, "Bisnis dan Perbankan dalam Perspektif Hukum Islam", Jurnal Al-Mawarid Edisi VII, Februari 1999, hlm. 24. 
              Muhammad (ed.), Bank Syari'ah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), hlm. 21.
 
              Gita Danupranata, Ekonomi Islam, Cet. 1, (Yogyakarta: UPFE-UMY, 2006), hal. 95.
              Karnaen A. Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio, Apa Dan Bagaimana Bank Islam, Cet. 1 (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakah, 1992), hal. 53.

              Edy Wibowo dan Untung Hendy Widodo, Mengapa., hal. 49 



[1] Muhammad Syafi'i Antonio, "Bisnis dan Perbankan dalam Perspektif Hukum Islam", Jurnal Al-Mawarid Edisi VII, Februari 1999, hlm. 24. 
[2] Muhammad (ed.), Bank Syari'ah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), hlm. 21. 
[3] Gita Danupranata, Ekonomi Islam, Cet. 1, (Yogyakarta: UPFE-UMY, 2006), hal. 95 
[4] Karnaen A. Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio, Apa Dan Bagaimana Bank Islam, Cet. 1 (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakah, 1992), hal. 53. 
[5] Edy Wibowo dan Untung Hendy Widodo, Mengapa., hal. 49 

No comments:

Post a Comment