A.
LATAR
BELAKANG
Ekonomi Islam
(Ekonomi Syariah) sebagai ilmu yang mempelajari usaha manusia untuk
mengalokasikan dan mengelola sumber daya untuk mencapai falah (kemuliaan
dan kesuksesan) dalam hidup berdasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai
al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW tidak muncul dari ruang hampa.
Ekonomi Syariah tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan
perkembangan sejarah ummat Islam di sepanjang zaman. Meskipun Ekonomi Syariah
sebagai ilmu baru muncul pada tahun 1970-an namun pemikiran ekonomi Syariah dan
praktek ekonomi Syariah telah ada sejak Islam diturunkan melalui Nabi Muhammad
SAW pada abad akhir 6 M hingga awal abad 7 M.
Di
Indonesia sendiri pemikiran ekonomi syariah dan praktek ekonomi syariah secara
kelembagaan dapat dilacak dari perkembangan bank syariah. Bank Syariah di
Indonesia mendapatkan pijakan yang kokoh setelah ada deregulasi sektor
perbankan pada tahun 1983. Hal ini disebabkan karena sejak saat itu diberikan
keleluasaan penentuan tingkat suku bunga termasuk nol persen (peniadaan bunga).
Kemudian posisi perbankan Syariah semakin pasti setelah disahkan Undang-Undang
Perbankan No. 7 Tahun 1992, bank diberikan kebebasan untuk menentukan jenis
imbalan yang akan diambil dari nasabahnya baik bunga maupun keuntungan bagi
hasil.[1]
Kemudian terbit Peraturan Pemerintah
No. 72 Tahun 1992 tentang bank bagi hasil yang secara tegas memberikan batasan
bahwa bank bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan usaha yang tidak
berdasarkan prinsip bagi hasil (bunga) sebaliknya bank yang kegiatan usahanya
tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. Dengan munculnya PP No. 72 Tahun 1992 tersebut
maka jalan operasioanal perbankan Syari'ah semakin luas dan terang.[2] Perkembangan
bank Syariah mencapai titik kulminasinya dengan disahkannya Undang-undang No.
10 Tahun 1998 tentang perbankan yang membuka kesempatan bagi siapa saja yang
akan mendirikan bank Syariah maupun yang akan mengkonversi dari sistem
konvensional menjadi system Syariah.
Saat ini telah banyak berdiri bank
Syariah seperti BNI Syariah, Bank Syariah Mandiri, Bank Muamalat Indonesia, dan
sebagainya. Bank Syariah di Indonesia pertama kali lahir pada tahun 1992
melalui berdirinya Bank Muamalat Indonesia, kemudian memasuki tahun 2002 bank
yang melakukan kegiatan operasional bank Syariah menjadi bertambah banyak yaitu
Bank IFI, Bank BNI, Bank Mandiri Syari'ah, dan Bank Jabar. Saat ini jumlah bank
syariah terus bertambah dan berkembang seiring dengan meningkatnya apresisasi
ummat Islam terhadap kehadiran bank syariah di Indonesia.
Perkembangan
pemikiran ekonomi syariah dan praktek ekonomi syariah tidak dapat dipungkiri
berpengaruh juga terhadap Peradilan Agama di Indonesia. Dengan lahirnya
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, kewenangan Peradilan Agama tidak hannya
terbatas pada permasalahan perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah
tetapi juga menyangkut masalah zakat, infaq, dan ekonomi syari’ah (Pasal 49).
Adanya tiga tambahan kewenangan ini (zakat, infaq, dan ekonomi syari’ah) telah
secara signifikan merubah wajah Peradilan Agama di Indonesia yang telah
berjalan semenjak sebelum zaman kolonial. Kalau dulu peradilan agama terkesan hannya
menangani persoalan hukum keluarga Islam, saat ini wajah peradilan agama tampak
lebih mentereng yaitu peradilan hukum keluarga Islam dan peradilan perdata
Islam, bahkan belakangan ada ide untuk memakai nama baru sebagai ganti dari
Pengadilan Agama (PA) yaitu Pengadilan Negeri Syariah (PNS).
B.
BANK
SYARIAH VERSUS BANK KONVENSIONAL
Masih banyak orang
yang bertanya tentang perbedaan bank syariah dan bank konvensional. Diantara
mereka bahkan menaruh curiga dengan berkata sinis bahwa perbedaan hanya sebatas
nama dari bank konvensional yang diganti dengan bahasa Arab. Banyak yang belum
mengetahui atau mempelajari apalagi mendalami, telah berani menyimpulkan bahwa
tidak terdapat perbedaan diantara keduanya. Padahal, apabila kita mempelajari
dan mendalami, maka kita akan dapat menyimpulkan berbagai persamaan dan
perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional.[3]
Secara umum perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional
adalah sebagai berikut[4]:
BANK SYARIAH
|
BANK
KONVENSIONAL
|
Berdasarkan margin dan keuntungan.
|
Memakai
metode bunga.
|
Profit &
Falah oriented.
|
Profit
oriented.
|
Hubungan
dengan nasabah dalam bentuk hubungan Kemitraaan.
|
Hubungan
dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitor-kriditur.
|
User of real fuonds.
|
Creator of money supply.
|
Investasi
hanya pada bidang usaha yang halal.
|
Tidak
membedakan investasi yang halal dan haram.
|
Tidak
membedakan investasi yang halal dan haram.
|
Tidak
memiliki Dewan Pengawas Syariah.
|
Sedankan dalam Perbedaan metode bagi hasil dengan metode bunga dapat
diuraikan sebagai berikut[5]:
Metode bagi Hasil
|
Metode bunga
|
Penentuan
besarnya rasio bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada
kemungkinan untung-rugi.
|
Penentuan
bunga dibuat pada waktu akad tanpa berpedoman pada untung-rugi.
|
Besarnya
rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
|
Besarnya
prosentase berdasarkan jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
|
Bagi
hasil tergantung keuntungan / kerugian proyek yang dijalankan.
|
Pembayaran
bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang
dijalankan untung atau rugi.
|
Jumlah
pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
|
Jumlah
pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau
keadaan ekonomi sedang booming.
|
Tidak
ada yang meragukan keabsahan metode bagi hasil.
|
Eksistensi
bunga diragukan oleh semua agama, termasuk Islam.
|
Perbedaan
antara metode bunga dengan metode bagi hasil terlihat juga jika keduanya
dihubungkan dengan inflasi. Metode bunga sering dianggap memberikan
perlindungan pada nasabah kriditur terhadap inflasi dengan cara menyesuaikan
nilai uang dengan tingkat harga. Namun kenyataannya perubahan harga tidak
selalu mencerminkan perubahan suku bunga.
Sebaliknya,
dalam metode bagi hasil, inflasi yang biasanya menguntunghkan para
pengusaha(debitor) otomatis akan menambanh pendapatan bagi hasil nasabah
penyimpan dana. Penambhan unag beredar mengakibatkan semakin banyaknya
pendapatan para pengusaha (debitor). Dengan penerapan metode bagi hasil,
keuntungan yang semakin bertambah itu akan diterima juga oleh bank dan nasabah
penyimpan dana sesuai dengan nisbahnya. Nasabah tidak perlu takut terhadap
perubahan tingkat inflasi dan suku bunga bank.
C.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas
bisa diambil kesimpulan bahwa dalam dunia perbankan saat ini kita mengenal dua
sistem yang berlaku, yaitu sistem yang mempergunakan sistem Syariah dan sistem
konvensional. Kedua sistem itu betul-betul mempuyai perbedaan dalam banyak hal.
Artinya tidak benar bila ada yang menyatakan bahwa bank syariah sama saja
dengan bank konvensional, hanya nama yang berbeda. Bank syariah mempunyai
keunggulan dalam banyak aspek dibandingkan dengan bank konvensional yang
jumlahnya saat ini masih jauh lebih banyak dari bank syariah. Perkembangan bank
syariah di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya ternyata sangat
mengembirakan. Hal ini didorong salah satunya kesadaran umat Islam untuk
melakukan kegiatan ekonomi mereka dengan prinsip-prinsip yang sesuiai dengan
syariah, termasuk dalam dunia perbankan. Dan saat ini umat Islam telah mulai
merasakan kelebihan sistem bank syariah daripada bank konvensional.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad Syafi'i
Antonio, "Bisnis dan Perbankan dalam Perspektif Hukum Islam", Jurnal
Al-Mawarid Edisi VII, Februari 1999, hlm. 24.
Muhammad (ed.), Bank Syari'ah
Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman (Yogyakarta: Ekonisia,
2004), hlm. 21.
Gita Danupranata, Ekonomi
Islam, Cet. 1, (Yogyakarta: UPFE-UMY, 2006), hal. 95.
Karnaen A. Perwataatmadja dan
Muhammad Syafi’i Antonio, Apa Dan Bagaimana Bank Islam, Cet. 1
(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakah, 1992), hal. 53.
Edy Wibowo dan Untung Hendy
Widodo, Mengapa., hal. 49
[1]
Muhammad
Syafi'i Antonio, "Bisnis dan Perbankan dalam Perspektif Hukum Islam",
Jurnal Al-Mawarid Edisi VII, Februari 1999, hlm. 24.
[2]
Muhammad
(ed.), Bank Syari'ah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman (Yogyakarta:
Ekonisia, 2004), hlm. 21.
[3] Gita
Danupranata, Ekonomi Islam, Cet. 1, (Yogyakarta: UPFE-UMY, 2006), hal.
95
[4]
Karnaen
A. Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio, Apa Dan Bagaimana Bank Islam,
Cet. 1 (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakah, 1992), hal. 53.
No comments:
Post a Comment